![]() |
Picture is taken from here |
Seminggu sekali, waktu yang kurasa tak pernah cukup untuk menuntaskan kerinduan bertemu denganmu. Kadang kita bercerita begitu intens, namun tak jarang pula hanya bercakap seadanya. Sejak rasa itu menelisik dalam dada, aku jadi salah tingkah apalagi ketika kamu menatap mataku begitu dalam, jantungku rasanya hendak meloncat!
Sudah tiga bulan sejak pertama kali kamu mengulurkan tangan kananmu sembari menyebutkan namamu. Sudah tiga bulan pula nama tersebut tersimpan di benakku, dan tak jarang kusebutkan di kala aku merapal doa setiap hari. Kamu, dengan segenap kepolosan pun kelembutanmu telah membuat hatiku jatuh telak. Aku tak bisa menyangkal tentang rasa itu yang kini menghinggap di dada.
Jumat kemarin, lagi-lagi kamu mengusikku. Minta dijemput. Waktu itu hujan turun tak sebegitu derasnya, tapi dengan suara manjamu di telepon kamu berhasil membujukku untuk datang menjemputmu. Aku pura-pura keberatan dan memintamu untuk datang sendiri saja, tapi sekuat apakah aku sampai bisa menahan rayuan suara merdumu?
Aku pun melangkah menantang hujan di malam yang dingin bertemankan sebuah payung cokelat yang kugenggam erat. Lima belas menit berselang, aku tiba di depan rumahmu. Kamu menyambutku dengan senyum manis yang sangat kurindukan. Aku memanggilmu, tapi kamu malah menyuruhku menjemputmu sampai ke teras rumah. Awalnya aku menggelengkan kepala, setelahnya? Kaki ini dengan ringan melangkah ke arahmu.
Kita pun berjalan bersisian, melewati jalanan yang masih saja diguyur hujan. Refleks, tanganmu menggamit tangan kananku yang tengah memegang payung. Aku, tentu saja, pura-pura bertindak biasa saja. Padahal sesungguhnya aku merasa seperti roket yang sedang melesat ke angkasa.
Rumah yang hangat itu kembali menyambut kita. Rumah tempat kamu dan aku juga teman-teman kita sesama ambivert menghabiskan waktu. Dua jam saja, seminggu sekali yaitu tiap hari Jumat, kita akan berkumpul di rumah itu. Berdiskusi tentang apa saja, sesekali berekreasi, memasak bersama, atau jika ada yang ingin menyendiri untuk membaca, tak ada yang akan melarang. Itulah mengapa kita semua begitu betah berada di rumah itu.
Aku, sebagai seseorang yang katakanlah sudah cukup senior di "Klub Ambivert", begitulah namanya, merasa senang ketika mendapati ada saja pertambahan setidaknya satu anggota baru setiap bulan. Dan tiga bulan lalu, kamulah anggota baru itu. Kamu, yang mengaku juga adalah seorang ambivert merasa perlu untuk bergabung di perkumpulan ini. Karena sama sepertiku yang rindu berkumpul tapi juga tak jarang ingin menyendiri, kamu pun demikian.
Sejak mengetahui aku dulu kuliah di jurusan yang sama dengan yang sementara kamu tekuni, kita pun menjadi lebih dekat. Berawal dari berbagi pengalamanku tentang perkuliahanku dan segala tetek-bengek yang berhubungan dengannya, kamu mulai bertanya tentang kehidupan pribadiku. Aku, tentu saja, tak akan begitu mudahnya terbuka kepada kenalan baru meski kamu, tanpa kutanya, bisa berbagi tentang kehidupan pribadimu. Aku merasa semakin mengenalmu sementara aku masih merahasiakan beberapa hal dalam diriku yang kurasa tak perlu kamu ketahui.
Ponselku berdering. Sesuai dugaan, kamu akan meneleponku.
Aku tahu, rasaku telah jatuh telak padamu. Kamu pun demikian. Tapi kutahan keinginan untuk memilikimu karena nyatanya aku sudah dimiliki. Kamu tak perlu tahu siapa dia karena dia terlalu baik untuk kutinggalkan. Alasan yang klise memang, dan aku tak ingin memperjuangkan sesuatu yang seharusnya kuperjuangkan, seperti rasaku untukmu. Biarlah kamu dan aku terus seperti ini, saling mencintai dan merindukan tanpa harus memiliki.
Kamu tahu, S... Pergolakan dalam dada telanjur kuredamkan agar tak ada yang terluka di sini. Teruslah merinduku, teruslah mencintaiku, sama seperti aku yang akan terus melakukannya untukmu meski kita memang tak ditakdirkan menyatu.
Dari lelaki yang terlalu takut untuk memperjuangkan 'kita'.
Kututup lembaran surat itu sebelum dadaku semakin sesak dibuatnya. Surat yang tiga tahun lalu dikirimkannya untukku. Dia, yang dulu hanya bisa kujumpai setiap hari Jumat. Dia, yang sejak surat itu kuterima tak pernah lagi memunculkan batang hidungnya. Dia, yang telah mencuri hati ini namun lupa mengembalikannya. Dia, yang membuatku kini harus berpura-pura membagi cinta pada seorang lelaki yang dalam hitungan hari akan menyematkan cincin di jari manisku. Karena manusia tak mungkin bisa mencintai dua orang sekaligus, maka seperti dirinya, aku pun memilih untuk dimiliki oleh dia yang mencintaiku bukan dia yang kucintai.
Sudah tiga bulan sejak pertama kali kamu mengulurkan tangan kananmu sembari menyebutkan namamu. Sudah tiga bulan pula nama tersebut tersimpan di benakku, dan tak jarang kusebutkan di kala aku merapal doa setiap hari. Kamu, dengan segenap kepolosan pun kelembutanmu telah membuat hatiku jatuh telak. Aku tak bisa menyangkal tentang rasa itu yang kini menghinggap di dada.
Jumat kemarin, lagi-lagi kamu mengusikku. Minta dijemput. Waktu itu hujan turun tak sebegitu derasnya, tapi dengan suara manjamu di telepon kamu berhasil membujukku untuk datang menjemputmu. Aku pura-pura keberatan dan memintamu untuk datang sendiri saja, tapi sekuat apakah aku sampai bisa menahan rayuan suara merdumu?
Aku pun melangkah menantang hujan di malam yang dingin bertemankan sebuah payung cokelat yang kugenggam erat. Lima belas menit berselang, aku tiba di depan rumahmu. Kamu menyambutku dengan senyum manis yang sangat kurindukan. Aku memanggilmu, tapi kamu malah menyuruhku menjemputmu sampai ke teras rumah. Awalnya aku menggelengkan kepala, setelahnya? Kaki ini dengan ringan melangkah ke arahmu.
Kita pun berjalan bersisian, melewati jalanan yang masih saja diguyur hujan. Refleks, tanganmu menggamit tangan kananku yang tengah memegang payung. Aku, tentu saja, pura-pura bertindak biasa saja. Padahal sesungguhnya aku merasa seperti roket yang sedang melesat ke angkasa.
Rumah yang hangat itu kembali menyambut kita. Rumah tempat kamu dan aku juga teman-teman kita sesama ambivert menghabiskan waktu. Dua jam saja, seminggu sekali yaitu tiap hari Jumat, kita akan berkumpul di rumah itu. Berdiskusi tentang apa saja, sesekali berekreasi, memasak bersama, atau jika ada yang ingin menyendiri untuk membaca, tak ada yang akan melarang. Itulah mengapa kita semua begitu betah berada di rumah itu.
Aku, sebagai seseorang yang katakanlah sudah cukup senior di "Klub Ambivert", begitulah namanya, merasa senang ketika mendapati ada saja pertambahan setidaknya satu anggota baru setiap bulan. Dan tiga bulan lalu, kamulah anggota baru itu. Kamu, yang mengaku juga adalah seorang ambivert merasa perlu untuk bergabung di perkumpulan ini. Karena sama sepertiku yang rindu berkumpul tapi juga tak jarang ingin menyendiri, kamu pun demikian.
Sejak mengetahui aku dulu kuliah di jurusan yang sama dengan yang sementara kamu tekuni, kita pun menjadi lebih dekat. Berawal dari berbagi pengalamanku tentang perkuliahanku dan segala tetek-bengek yang berhubungan dengannya, kamu mulai bertanya tentang kehidupan pribadiku. Aku, tentu saja, tak akan begitu mudahnya terbuka kepada kenalan baru meski kamu, tanpa kutanya, bisa berbagi tentang kehidupan pribadimu. Aku merasa semakin mengenalmu sementara aku masih merahasiakan beberapa hal dalam diriku yang kurasa tak perlu kamu ketahui.
"Selamat tidur. Tak sabar rasanya menunggu seminggu berlalu supaya bisa berkumpul lagi di 'Klub Ambivert'. Hihii..."Satu pesan singkat darimu mengusikku yang tengah asyik membaca buku. Pesan bernada sama seperti yang kamu kirimkan selama beberapa minggu terakhir. Lagi-lagi, sengaja tak kubalas karena aku bisa memprediksikan apa yang akan terjadi setelahnya...
Ponselku berdering. Sesuai dugaan, kamu akan meneleponku.
"Sudah tidur?"Telepon pun dimatikan. Selalu begitu. Kupikir, tak perlu bercerita panjang lebar karena kita sudah saling mengetahui apa yang ingin disampaikan. Aku tahu kamu rindu bahkan ketika kita baru saja berpisah. Aku tahu kamu bisa saja ke rumahku kapan saja, tapi niat tersebut kamu urungkan karena terkadang membiarkan kerinduan meletup di dada lebih baik daripada menuntaskannya dengan impulsif. Karena jika rasa itu telah menguar mungkin akan sulit dimiliki lagi. Dan kamu pasti tahu, aku pun berpikir hal yang sama. Kamu dan aku mungkin sudah terlalu pintar mengkamuflase rasa; bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.
"Sedang membaca buku."
"Baiklah. Selamat membaca."
Aku tahu, rasaku telah jatuh telak padamu. Kamu pun demikian. Tapi kutahan keinginan untuk memilikimu karena nyatanya aku sudah dimiliki. Kamu tak perlu tahu siapa dia karena dia terlalu baik untuk kutinggalkan. Alasan yang klise memang, dan aku tak ingin memperjuangkan sesuatu yang seharusnya kuperjuangkan, seperti rasaku untukmu. Biarlah kamu dan aku terus seperti ini, saling mencintai dan merindukan tanpa harus memiliki.
Kamu tahu, S... Pergolakan dalam dada telanjur kuredamkan agar tak ada yang terluka di sini. Teruslah merinduku, teruslah mencintaiku, sama seperti aku yang akan terus melakukannya untukmu meski kita memang tak ditakdirkan menyatu.
Dari lelaki yang terlalu takut untuk memperjuangkan 'kita'.
***
Kututup lembaran surat itu sebelum dadaku semakin sesak dibuatnya. Surat yang tiga tahun lalu dikirimkannya untukku. Dia, yang dulu hanya bisa kujumpai setiap hari Jumat. Dia, yang sejak surat itu kuterima tak pernah lagi memunculkan batang hidungnya. Dia, yang telah mencuri hati ini namun lupa mengembalikannya. Dia, yang membuatku kini harus berpura-pura membagi cinta pada seorang lelaki yang dalam hitungan hari akan menyematkan cincin di jari manisku. Karena manusia tak mungkin bisa mencintai dua orang sekaligus, maka seperti dirinya, aku pun memilih untuk dimiliki oleh dia yang mencintaiku bukan dia yang kucintai.