Quantcast
Channel: Sindy is My Name
Viewing all 178 articles
Browse latest View live

Review Novel "Seribu Kerinduan"

$
0
0
Foto sampul dicomot dari sini
Judul Buku: Seribu Kerinduan
Penulis: Herlina P. Dewi
Editor: Paul Agus Hariyanto
Tebal: 241 halaman
Penerbit: Stiletto Book


Nyesek! Itulah kesan saat membaca bagian awal novel ini. Kesan yang membuatku, jujur, sedikit tersendat dan beberapa kali berhenti sejenak (bahkan berjam-jam) sebelum melanjutkan membacanya. Tapi, rasa penasaran dalam hati tentang "mau dibawa ke mana kegamangan hati sang tokoh utama" berhasil menggodaiku hingga membacanya sampai selesai.

It's a kind of "novel-ception". There's a novel in a novel. Unik! Begitulah aku menyimpulkannya.


Dengan sampul artistik yang entah kenapa menimbulkan kesan sepi setelah melihatnya, kisah di dalamnya pun tak kalah membuatku ikut tenggelam dalam seribu kerinduan yang dirasakan oleh (para) tokoh utama.
*Anyway, kalau googling picture dengan keyword: "lonely girl", gambar ini ada di urutan teratas. Bukan begitu? :D

Menggunakan sudut pandang orang ketiga (mahatahu), kisahnya langsung dibuka dengan perpisahan (yang tak diinginkan) antara Renata dan Panji. Mereka tadinya sepasang kekasih yang sudah 4 tahun menjalin hubungan yang serius, namun kalah oleh perjodohan yang dilakukan orangtua Panji.

Sebagai anak satu-satunya dari keluarga terpandang di Yogyakarta menempatkan Panji pada posisi sulit, apalagi ia terus didesak oleh ibunya yang otoriter dan selalu memandang bibit-bebet-bobot dalam memilihkan pasangan hidup untuk anaknya. Renata, seorang gadis mandiri yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, otomatis keluar dari kriteria calon menantu ideal di mata ibu Panji. Kisah yang sebenarnya klise tapi disajikan dengan gaya bertutur yang sederhana namun mengalir oleh penulisnya.

Konflik yang terjadi setelah pernikahan Panji menyeret Renata pada kehidupan baru yang selama ini tak pernah dibayangkannya. Awalnya berprofesi sebagai seorang fashion editor di sebuah majalah terkemuka di ibu kota dengan karir yang diramalkan cemerlang, namun karena patah hati dan terpukul dengan keputusan sepihak mantan kekasihnya, malah membuatnya terpuruk dan malah masuk ke dunia baru. Ia menjadi seorang high class prostitute!

Bagaimana nasib Panji setelah perjodohan dengan Ayu, yang ternyata masih memiliki hubungan dengan mantan pacarnya (Rio)? Apakah Renata dan Panji bisa bersatu kembali? Silakan jawab sendiri 2 pertanyaan tersebut dengan membaca novel ini. :D

Novel ini ditulis dengan alur campuran. Setting tempat yang kuat (yang malah membuatku, sebagai pembaca, penasaran ingin ke sana), seperti: Bukit Bintang dan Pantai Indrayanti. Selain itu, penggunaan bahasa Jawa (dan Sunda) menambah warna dalam novel ini; membuatku semakin cinta dengan budaya Indonesia (teristimewa Yogyakarta).

Tema yang diangkat, sesuai judulnya, adalah tentang kerinduan. Lebih tepatnya, bangkit dari keterpurukan dan menjawab seribu kerinduan yang menyesakkan dada.

Ada sedikit ketidaksesuaian durasi waktu yang kurasa, tepatnya pada halaman 12 dan 90. Di halaman 12 diceritakan Panji membawa Renata menemui orangtuanya pada usia pacaran 3 tahun, sedangkan di halaman 90 dalam percakapannya dengan Ayu (istrinya), Panji menyebut, "Parahnya, selama empat tahun pacaran, aku sama sekali nggak pernah cerita ke orangtua sampai kemudian aku ngajak Renata pulang dan mengenalkannya ke mereka." Bisakah penulis menjelaskan ini padaku? Atau aku saja yang keliru menafsirkan kalimat-kalimat tersebut? :D

Membaca novel ini dengan ditemani beberapa cangkir kopi memang pilihan yang tepat. "Serasa menikmati rindu yang pekat", begitulah seperti kata penulisnya (lewat mention di twitter). :D

Ending yang mudah ditebak, tapi sebenarnya mau kuprotes karena kelihatan terlalu mudah untuk Panji mendapatkan Renata kembali. Namun karena mempertimbangkan Panji yang berbesar hati menerima Renata apa adanya hingga membuatku setuju-setuju saja dengan ending-nya. (Oops! Kebablasan padahal tadi di atas sudah kutantang untuk mencari tahu sendiri ending ceritanya)

Tentang cinta (dan benci), keterpurukan (dan bangkit darinya), kerinduan yang menyesakkan dada, perjodohan sialan, kesetiakawanan, nafsu, juga mendengarkan suara hati untuk mengikuti hasrat hidup, novel ini berhasil membuatku terhanyut. Apalagi penyajiannya yang sangat minim typo.
So, for this novel I want to give 3.5 out of 5 stars!
Dan inilah beberapa kutipan menarik dalam novel "Seribu Kerinduan":
"Aku ingin melupakan semua kesunyian malam ini, itulah sebabnya aku menulis, agar aku bisa mengubah senyap menjadi rindu, gelap menjadi kenangan, dan beku menjadi cinta." (Hal. 9)

"Bersama hujan, kita tak akan malu menangis, karena semua air mata kita akan luruh bersama derasnya dan mengalir entah ke mana." (Hal. 56)

"Cinta merupakan kekuatan yang tak akan pernah bisa ditundukkan. Kalau kita berusaha mengendalikannya, cinta akan menghancurkan kita. Kalau kita berusaha mengurungnya, cinta akan memperbudak kita. Dan jika kita belajar untuk memahaminya, cinta akan meninggalkan kita dalam kebingungan." (Hal. 131)

"Sometimes, we need to stop blaming the past and start creating the future." (Hal. 175)

"Kebencian yang teramat sangat seolah menutup seluruh kerinduan yang selama ini dirasakannya." (Hal. 220)
1 pertanyaan untuk penulis:
Kapan novel selanjutnya terbit? I like your writing. Indeed. Semoga novel berikutnya kisahnya lebih mengaduk-aduk emosi pembaca, ya? *cheers with a cup of coffee*

Thanks for this book and also the signature... *love struck*

Review Novel "Dear Friend with Love"

$
0
0
Foto sampul dicomot dari sini :')
Judul buku: Dear Friend with Love
Penulis: Nurilla Iryani
Editor: Herlina P. Dewi
Tebal: 146 halaman
Penerbit: Stiletto Book
Cetakan I, Oktober 2012


Pertama kali memegang novel ini dan memperhatikan sampulnya, aku langsung berpikir, "Novel yang kelihatan ringan karena sampul yang terlalu teenlit." Seperti camilan yang dibutuhkan saat menonton TV, mungkin seperti inilah keberadaan novel ini untukku. Dari judulnya, aku bisa menerka kalau kisah cinta yang dipaparkan di dalamnya adalah kisah yang klise. Tapi, terdorong rasa penasaran karena salah seorang penulis favoritku (Ika Natassa) pernah merekomendasikan novel ini, maka tak ada salahnya untuk membacanya di sela-sela waktu break.

Kurang dari 2 jam waktu yang kubutuhkan untuk melahap habis novel ini. Tanpa jeda. Mungkin dikarenakan gaya bertutur penulis yang begitu ringan, mengalir, dan sederhana membuatku asyik-asyik saja saat membacanya dan tanpa sadar sudah menyelesaikannya sampai di halaman terakhir. Oops! Apalagi banyak kutipan dengan bahasa Inggris, menurutku merupakan nilai plus dari novel ini.


Menggunakan multiple point of view (dari sudut pandang orang pertama tunggal), tepatnya dari sudut pandang kedua tokoh utamanya, yaitu: Karin dan Rama, rasanya seperti mendengarkan langsung 2 karakter tersebut bercerita (dengan gaya bahasanya masing-masing) pada pembaca. Unik! Ya, meskipun jujur, membuatku teringat pada gaya bercerita Ika Natassa dalam novel "Antologi Rasa". Hehe...

Menggunakan alur maju (yang pada bagian awal memang ada sedikit alur mundur, tapi secara keseluruhan yang digunakan adalah alur maju), kisah yang dituturkan memanglah klise! Tapi, sekali lagi, karena gaya bertutur yang ringan dan menarik, membuatku begitu menikmati membaca novel ini.

Tentang cinta diam-diam karena terkungkung dalam hubungan yang begitu rekat bernama persahabatan, pembaca seolah ditarik dalam konflik yang dirasakan sang tokoh utama, Karin. Perempuan cantik berusia 25 tahun yang sudah teramat bosan direcoki pertanyaan "Kapan nikah?" oleh siapa saja karena memendam perasaan cinta pada sahabatnya sejak kuliah (yang berarti telah menjadi sahabat selama 8 tahun), Rama. Sementara Rama, seolah tak menyadari perasaan Karin yang sebenarnya untuknya. Ia bergonta-ganti pacar meskipun pada akhirnya tak menemukan seseorang yang pas karena mereka selalu insecure dan cemburu dengan keberadaan Karin.

Persahabatan yang begitu lekat antara 2 insan berbeda jenis kelamin ini dituturkan dengan sangat apik.

Lalu, hadirlah seorang perempuan dalam hidup Rama. Astrid (yang lebih sering disapa Cicit olehnya), seorang model dengan penampilan sempurna dan berhati malaikat. Astrid yang diyakini Rama berbeda dari mantan-mantan pacarnya sebelumnya. Astrid yang tak merasa insecure saat mengetahui keberadaan Karin dalam hidup Rama.

Hal itu pula yang membuat Rama yakin untuk melamar Astrid. Lamaran diterima, dan saat itulah hati Karin remuk! Ia memutuskan untuk move on meski nyatanya sulit.

Kehadiran Adam, teman semasa kecil Karin seperti membawa angin segar di tengah kegamangan Karin. Adam tak hanya sempurna, tapi juga sangat perhatian! Usaha orangtua Karin dan Adam untuk menjodohkan kedua anak mereka seperti membuahkan hasil ketika mereka berdua akhirnya jadian.

Namun, ketegangan tercipta ketika Astrid meragukan cinta Rama padanya. Dan saat itulah Rama baru menyadari kehadiran Karin di hatinya. Karin tak hanya sekadar sahabat yang Rama butuhkan dan paling mengerti dirinya, tapi Karinlah sang pemilik hati Rama. Apa yang terjadi dengan hubungan mereka kemudian?

Ending yang sangat bisa diterima karena begitulah yang kuharapkan! Ingin rasanya memberi standing ovation kepada penulisnya karena seperti itulah ending yang kupikirkan sejak awal. Hihii...

Mau tahu ending-nya seperti apa? Baca saja novel ini, dijamin nggak rugi.

Karakter-karakter dalam novel ini begitu kuat, ya meskipun membuatku ingin bertanya, "Apa benar ada manusia sesempurna mereka di kehidupan nyata?" Sempurna dalam artian begitu rupawan, baik, dan nilai plus lainnya yang tak perlu kujabarkan satu per satu.

Beberapa pelajaran penting yang kudapat setelah membaca novel ini antara lain: jangan memendam perasaan ke seseorang karena hati tak bisa berdusta, seseorang yang tepat akan datang ketika kita mau membuka hati, dan mencintailah tanpa mengekang apalagi memaksa dia yang kita cinta menjadi seperti gambaran yang kita mau.

Oh, ya. Menurut pengamatanku ada sedikit ketidaksesuaian durasi waktu tepatnya pada halaman 69 dan 73 di novel ini. Di halaman 69 disebutkan, "Sudah empat hari nggak ada BBM-BBM dongonya Karin, dst..." sedangkan di halaman 73 disebutkan, "Tiga hari nggak komunikasi dengan Rama membuatku uring-uringan, dst..." Bisakah penulis menjelaskan padaku tentang hal ini atau aku saja yang keliru saat membacanya? Hehee...

But, overall aku sangat menikmati membaca novel ini! Novel yang ringan tapi tetap padat berisi karena gaya bertutur yang asyik juga cerdas. Selain itu, novel ini disajikan dengan sangat minim typo(also standing ovation for the editor). Jenis novel yang tetap enak dibaca ulang karena bisa dibawa ke mana-mana dan dibaca kapan saja.
So, for this novel I want to give 4 out of 5 stars!
Berikut beberapa kutipan menarik dalam novel "Dear Friend with Love":
"Loving someone who doesn't love you back is such a hell on earth! Especially, when you can't even show your love for the sake of friendship. Oh, or maybe, you need that friendship for the sake of your love?" (Hal. 1)

"We, women, can talk to each other without actually talking." (Hal. 11)

"Jealousy is an ugly thing. It makes you hate someone that you barely know. And to make it worst, you're the one who gets hurt, not that 'someone'." (Hal. 15)

"You can only get jealous when you feel insecure." (Hal. 15)

"Why do I have to fall for you when you just keep falling for other women?" (Hal. 22)

"I don't know why I'm so afraid to lose you when you're not even mine." (Hal. 27)

"Restroom is the safest place to cry when you're in public area." (Hal. 31)

"Guys, ada dua keuntungan punya sahabat cewek. First, mereka selalu mendengar. Second, mereka tahu persis apa yang perempuan mau." (Hal. 37)

"Once you start to dislike someone, everything they do will annoy you." (Hal. 66)

"Sometimes, we forgive someone just because we still want him/her in our life." (Hal. 72)

"There is one question you always wanna ask, but you decide to keep it to yourself, just because you're afraid you can't handle the answer." (Hal . 87)

"People don't notice the things we do to them, until we stop doing it." (Hal. 89)

"Beauty is pain, but women are masochists." (Hal. 93)

"Kasihan si waktu. Selalu diandalkan untuk menyembuhkan luka. Harusnya dia punya gelar dokter." (Hal. 119)

"Aku nggak kuat ada di mimpi seindah ini terlalu lama. Ini hanya akan membuat realita jadi terasa menyakitkan." (Hal. 136)

"Aku sayang kamu. Aku cuma milih nunjukkin dengan perbuatan aku. Aku nggak pernah mau ngumbar kata-kata sayang. Aku takut beranggapan terlalu cepat. Kamu tahu kan: easy come, easy go." (Hal. 142)

"Haruskah aku ambil risiko melepas kebahagiaanku demi sesuatu yang aku cinta, tapi belum tentu membuatku bahagia?" (Hal. 144)

"Merasa berharga. Merasa dicintai. Bukankah itu yang diinginkan semua wanita?" (Hal. 144)
So, have you just decided to read this novel? I dare you! *smooch*

The Past is Back!

$
0
0
Rasa penasaran ini harus segera terjawab! Terbiasa mengempaskan tawaran cinta dari lelaki manapun membuatku seakan berada di atas angin. Tak ada seorang pun yang tak bisa kutaklukkan, batinku angkuh.

Lalu pertemuan denganmu yang tak disengaja membuatku seperti menjilat ludah sendiri. Kamu, yang 10 tahun lalu pernah menjadi pemilik hati ini jika bisa kukatakan demikian, kini hadir kembali. Masih dengan pesona yang sama, mementalkan ingatanku pada asa yang tak sempat terjawab. Memilikimu nyatanya hanyalah ada dalam anganku. Dan malam itu, ketika kamu menawarkan kesempatan itu, mana mungkin bisa kutolak?

Dengan senyum merekah juga pelukan selamat datang, kamu menyambutku di bandara. Udara malam yang dingin dikalahkan dengan hangat tubuhmu yang kamu bagi denganku. Aku hanya ingin segera berbaring di kasur yang nyaman, dan dalam dekapan tubuhmu mungkin.

"Thanks for coming. How's your flight?" tanyamu basa-basi ketika baru saja memposisikan diri di belakang kemudi.

"Tired but exciting! I found a new friend. A girl who can't stop talking about her life. But I think I need to sleep as soon as possible," jawabku seadanya.

Mobil melaju dengan kecepatan 80 KM/jam. Hanya lampu jalanan yang menjadi teman setia di kota yang sama sekali asing bagiku ini. Hening. Kamu begitu mengerti aku. Kamu tahu saat aku berkata lelah, itu berarti aku benar-benar lelah. Tak ada musik terdengar, hanyalah deru angin yang ditembus laju mobil menelusup telinga. Aku memejamkan mata.

***

"Selamat pagi, Sayang! Meskipun aku masih heran dengan keputusanmu yang begitu tiba-tiba untuk berangkat ke kota D, aku tetap akan mengantarkan tuan putriku ke bandara," senyum tersungging dari wajahnya.

Aku hanya membalas senyumnya sambil menyerahkan koper kecil yang hendak kubawa.

Aku mendiamkannya selama perjalanan. Tak seperti harapannya karena jelas saja sorot matanya berkata kalau ia tak rela aku bepergian lagi. Lalu kubohongi saja dirinya dengan berkata kalau aku sedang menstruasi. Ia pun memaklumi meski masih mempertanyakan apa salahnya sampai aku tak begitu menanggapi apa pun ceritanya.

Tak ada pelukan perpisahan ketika aku turun dari mobilnya. Hanya kalimat, "Hati-hati di sana dan cepatlah kembali," yang sayup-sayup terdengar ketika aku melangkahkan kaki menjauh darinya.

Ia hanya tak tahu bahwa aku hendak menemuimu. Seseorang dari masa laluku. Seseorang yang begitu mirip dengannya. Mungkin itulah mengapa 2 tahun lalu aku memantapkan pilihan hati. Apakah karena aku hanya melihatmu di dalam dirinya?

***

"How could a beautiful girl just sits alone here with nobody beside her?" suara beratmu membuyarkan lamunanku.

Aku terperangah ketika melihat sorot matamu. Ada keteduhan yang kamu tawarkan di sana, dan aku telah lama mendambakan hal semacam itu.

"Why are you here? Is it really you?" dalam takjub kulontarkan pertanyaan ini.

Kita lalu terlibat dalam nostalgia. Seperti membuka kembali lembaran lama. Masa-masa di sekolah yang tak mungkin begitu saja usang dari benakku. Sahabat yang kucintai, seseorang yang belum sempat kumiliki.

Kamu masih sama. "Jay Chou" masa SMA-ku. Bedanya sekarang ada cambang tipis memenuhi rahangmu, dan dagu yang terbelah itu selalu berhasil menggodaiku untuk mengelusnya. Tapi tidak kali ini, karena bagaimana kita bisa bersikap seakrab 10 tahun lalu?

Tak terasa sudah hampir 2 jam kita habiskan bercerita di atas sofa merah itu. Dan tawaranmu untuk menghadiri acara peresmian resort yang dirancang oleh tanganmu sendiri di kota D tanpa ragu kuiyakan.

Malam itu kamu tak mempertanyakan statusku. Apakah aku sudah menikah atau belum. Hingga aku pun merasa tak perlu untuk menanyakan statusmu.

Aku mengiyakan ajakanmu bukan juga tanpa pertimbangan, tapi kupikir tunanganku yang begitu pengertian pasti akan menyetujui rencana keberangkatanku ke kota D. Dan sesuai harapan, ia setuju. Karena ia selalu percaya padaku, aku tak mungkin macam-macam. Bepergian ke berbagai kota memang menjadi hasrat terbesar dalam hidupku. Sebagai seseorang yang dewasa ia sangat mengerti aku.

***

"Tea or milk chocolate? I think you need to drink something to make you feel better," tanyamu lalu melangkahkan kaki menuju ke dapur.

Aku hanya bergeming sambil merebahkan diri di atas sofa. Tubuh ini terasa begitu lelah, dan sepertinya aku demam.

Tak lama berselang kamu muncul dengan segelas susu cokelat di tanganmu.

"Just drink it so you could sleep tight," katamu sambil mengangsurkan gelas itu padaku.

Aku menyeruput isinya perlahan sampai benar-benar tandas.

"Thanks for coming! I'm... you know, I'm really happy when you called me that you've already been in the airport," ucapmu saat aku baru saja meletakkan gelas yang kosong ke atas meja.

Malam ini kita tidur di atas kasur yang sama. Kamu terus memeluk tubuhku sambil menggumamkan lagu "Heaven" milik Bryan Adams sampai aku terlelap. Tak ada kecupan selamat malam karena yang kubutuhkan hanyalah pelukanmu. Pelukan yang... entahlah, mungkin sebaiknya tak perlu ada. Tapi aku menikmatinya. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?

***

Cahaya matahari pagi yang menyelinap melalui ventilasi seperti membangunkanku. Aku mengerjap sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada kamu di sampingku. Hanya suara air berjatuhan dari shower yang terdengar. Kamu pasti sedang mandi, pikirku.

Tidur pulas semalaman seperti mengembalikan energi yang sempat terserap selama perjalanan ke kota ini. Aku bangun dan kemudian menyalakan ponsel yang sejak dari bandara sengaja kumatikan. Ada 11 pesan masuk darinya.

"Sayang, sudah di mana? Apakah kamu baik-baik saja? Aku mencoba menghubungimu lewat telepon, tapi ponselmu tidak aktif. Segera kabari aku setelah kamu membaca SMS ini."

"Sayang, aku khawatir terjadi apa-apa denganmu. Tolong kabari aku. Segera. Aku mencemaskanmu."

Kuputuskan untuk tak membaca 9 pesan lainnya karena pastilah isinya sama saja. Tiba-tiba aku kesal ketika bayangan wajahnya menghampiri benakku. Karena ada kamu di sini, tak ada hal lain yang kuinginkan selain dirimu. Egoiskah aku?

Kembali kumatikan ponselku karena aku tak ingin terusik dengan pesan apalagi panggilan bernada khawatir darinya. Aku hanya ingin memfokuskan diriku untuk menikmati waktu bersamamu saat ini. Siapa pun tak boleh mengganggu, termasuk dia, tunanganku sendiri
to be continued...

Perayaan Patah Hati

$
0
0
Picture is taken from here

Secangkir kopi hangat, pantai, iPod dan earphone yang menempel di telinga sesungguhnya lebih dari cukup untuk perayaan kali ini. Sebuah perayaan yang jarang terjadi dalam hidup: perayaan patah hati.

Suhu kopi yang membasahi kerongkongan mungkin sama dengan tetes air mata yang jatuh ke pipi. Pasir putih yang lembut yang menjadi tempat kaki berpijak seolah memberikan kenyamanan pada hati yang teriris-iris. Tak ada cahaya matahari yang menyengat, karena matahari telah pamit. Yang ada hanyalah embusan angin yang mengundang gigil namun tertutupi oleh hangatnya kopi.

Lagu-lagu yang biasa kudengarkan dulu saat bersamanya terputar nyaring di telingaku. 1 tegukan lagi dan setelah itu mulut bebas berteriak mengumandangkan lagu yang terdengar di gendang telinga meski dengan suara sumbang. Bebas. Karena inilah sebuah perayaan patah hati.

Cangkir kini hanya menyisakan ampas hitam. Senada dengan warna langit tanpa bintang. Pekat. Laksana suasana hati.

Air mata mungkin telah kering. Hangat dan dingin telah bercampur jadi satu, mari bernyanyi!


Aku ingin menyanyikan lagu-lagu kesayanganku dengannya sampai aku bosan. Sampai aku mati rasa! Sampai segala kenangan yang dihadirkan lagu-lagu tersebut hilang terempas ombak pasang.

Ini adalah sebuah perayaan. Kopi, musik, pantai, air mata, dan teriakan adalah paduan yang pas. Karena sesungguhnya, patah hati memang untuk dirayakan dalam hening di pinggir pantai, kemudian riuh yang dicipta sendiri. Patah hati bukan untuk dipendam karena ia adalah bagian hidup yang pantas dirayakan dalam kesendirian.

"Aku ingin merayakan patah hati ini dan semoga ini adalah perayaan patah hatiku yang terakhir kali," teriakku pada batu karang yang angkuh.

Aku mungkin juga angkuh tapi aku ingin menjadi setegar batu karang yang tak goyah meski dihantam ombak kencang.

Hati adalah harta yang berharga. Merayakan patah hati berarti mengobati hati dan jangan sampai ia patah lagi. Jangan sampai!

Cangkir bersisa ampas, musik yang telah lama habis, suara serak, juga malam yang semakin dingin. Saatnya kembali ke rumah dengan senyum dan hati yang baru; hati yang telah terobati dan lebih tegar dari sebelumnya.

Perayaan patah hati memang membawa nikmat!

Siapa Tahu?

$
0
0
Perkara melupa tak semudah mencinta. Mungkin saja. Atau sebaliknya? Bisa saja.

Ketika sorot mata itu seperti 'menelanjangiku', aku hanya bisa menundukkan kepala. Tak berani menatapnya.

Deg! Degub jantungku mungkin terdengar olehnya bersamaan dengan hangat yang menjalari pipi.

Tapi, itu dulu. Aku bahkan lupa kapan terakhir kalinya 'rasa itu' menghinggapi dada. Rasa yang pernah berkali-kali datang tanpa kuundang; ia hadir begitu saja tanpa permisi.

Cintakah namanya? Bisa ya, bisa juga tidak.

Mungkin, aku yang keliru menganalisa rasa. Rasa itu mungkin cinta, tapi bisa juga ia hanya sekadar suka, kagum, tersipu, atau bahkan... kasihan.

Lalu, bagaimana dengan perkara melupa?

Melupa itu hal yang sulit dilakukan. Setidaknya untukku. Sekarang.

Mungkin waktu yang akan membuatnya mudah, atau tatapan lain yang menyebabkan jantungku loncat dari tempatnya hingga otak ini membeku untuk terusik lagi pada sesuatu yang bernama masa lalu.
Siapa tahu?

(Failed) Double Date

$
0
0
Picture is taken from here
Daun kering yang berguguran dari dahan pohon besar saat diterpa angin sore itu mungkin sama dengan perasaan cintanya; gugur, jatuh ke atas tanah dan menunggu untuk membusuk.

Dengan refleks Laura menyandarkan kepalanya ke atas bahu lelaki di sebelahnya.

Gedung perpustakaan kampus lantai 3 sunyi sepi bagai kota mati. Pegawainya sudah pulang sejak sejam yang lalu. Saat yang selalu dimaanfaatkan Laura dan lelaki itu tak hanya untuk duduk sambil menatap pohon besar - entah apa namanya - yang berjejer rapi di tepi jalan. Tapi lebih dari itu, di situlah tempat yang dipilih lelaki itu untuk Laura mencurahkan kesedihannya.

Lelaki itu sahabat baik Laura. Namanya Kenneth. Sorot matanya tajam, bentuk wajahnya sempurna dengan dagu yang kokoh, rambutnya yang bergelombang dibiarkan memanjang sampai ke bahu, perawakannya tinggi, dan kulitnya agak kecokelatan karena terpapar cahaya matahari akibat kebiasaannya bermain basket.

Dalam 3 tahun selama mereka resmi menyandang status sebagai mahasiswa, ini sudah kelima kalinya Kenneth menemani Laura di situ. Membebaskan Laura bercerita tentang kegamangan hatinya, lalu membiarkannya menangis di bahu Kenneth.

Adit, Otto, Defan, Farokh, dan yang terakhir ini Andre. Setelah ini siapa lagi? Kenneth hanya bisa membatin.

Ia tetap cantik meski saat bersedih! Kembali Kenneth menggumam dalam hati saat menatap Laura yang sibuk mengelap matanya dengan tissue di tangannya.

Gadis itu begitu bersinar di usianya yang baru 21 tahun. Matanya kecil dan tertarik di sudutnya, bibir dan hidungnya juga kecil tapi enak dilihat, ditambah lesung pipi di pipi kanannya membuat Kenneth tak bosan menatap gadis itu berlama-lama. Rambut hitam gadis itu memanjang lurus sampai ke pinggang, saat badannya yang semampai berjalan, rambutnya yang terurai ikut bergoyang ke kanan-kiri; membuat siapa pun lelaki yang melihatnya tak kuasa menelan ludah.

"Udah lega sekarang, Tzu?" tanya Kenneth sambil memperlihatkan gigi kelincinya.

'Tzu' adalah panggilan kesayangan Kenneth untuk Laura. Jika kebanyakan temannya memanggil Laura dengan sebutan 'Lau' atau 'Ra', maka hanya Kenneth satu-satunya orang yang memanggilnya 'Tzu'.

"Laura. Lau. Lau Tzu. Ok! Kalo gitu aku manggil kamu 'Tzu' aja, yah? Hehehehe," itulah kalimat yang meluncur dari bibir Kenneth saat pertama berkenalan dengan Laura.

"Hmm, lumayan. Anterin aku pulang yah, Ken," pinta Laura sambil menggandeng tangan Kenneth.

Mata Laura menatap ke depan sambil berjalan bersisian dengan Kenneth saat menuruni tangga. Mungkin tak diperhatikannya wajah Kenneth yang memerah saat itu.

***

"Lauraaaa! Hi, Dear. Long time no see!" perempuan itu segera menghambur ke pelukan Laura.

Pertemuan tak disengaja di toko buku baru saja mencetuskan 1 ide gila. Ya, setidaknya itu sebuah ide gila menurut Laura. Double date.

Bagaimana bisa aku meladeni ajakan double date ini sementara aku baru saja putus dengan Rendy? Sesal Laura dalam hati sembari menyebutkan nama mantan pacar terakhirnya. Lelaki yang sudah dipacarinya selama 2 tahun ini namun terpaksa diputuskannya karena menurut Laura, Rendy terlalu workaholic hingga tak punya waktu buatnya. Padahal mereka sempat berencana untuk tunangan.

Ah, kenapa aku malah mikirin lelaki nggak penting itu! Senyum kecut terpancar di wajahnya.

"Ok, jadi hari Sabtu depan jam 7 malam di Excelso. Teng, yah. We're gonna have fun there. Anyway, aku pamit dulu yah, Ra. Harus balik lagi ke kantor nih, jam break udah selesai. Bye, Darling!" Setelah bercipika-cipiki, perempuan itu pun berlalu dari hadapan Laura yang masih bingung memikirkan ide gila barusan.

Kenapa juga Angel bisa jadian sama Koko? Mereka kenalnya dari mana? Laura kembali menggerutu dalam hati. Sebenarnya ia merasa tak berhak menyalahkan 2 teman lamanya yang baru saja jadian itu. Angel, temannya semasa SD dan Koko temannya semasa SMP. Entah mereka bertemu di mana dan kemudian memutuskan pacaran. Tapi menerima ajakan double date tersebut adalah suatu keputusan terbodoh yang telanjur diambil Laura.

Kenneth! Aku harus menghubungi Kenneth!

Kenneth. Nama yang pertama melintas di benak Laura saat itu. Lelaki itu selalu bersedia menemaninya ke mana pun. Setidaknya itu dulu.

Tapi, gimana kabarnya sekarang, yah? Gimana juga caranya ngajak Kenneth?

Pikiran Laura masih berkecamuk. Selama 2 tahun ia berpacaran dengan Rendy, hubungannya dengan Kenneth seakan putus. Setahu Laura, Kenneth melanjutkan studi S2 di negeri Paman Sam. Tapi, mendengar kabar dari beberapa teman, Kenneth sudah kembali ke Indonesia dan kini bekerja di perusahaan Papanya.

Ah, aku harus menghubungi Kenneth!

***

"Ken, kamu harus temenin aku ke pestanya Igine ntar malem. Aku nggak mau sendirian aja dan kayak orang bego sementara Andre menggandeng pacar barunya!"

"Ken, Farokh juga kabarnya akan mewakili kampusnya di lomba debat nanti. Pokoknya kamu harus masuk tim debat bareng aku. Kita harus ngalahin Farokh!"

"Ken, kafe tempat aku biasa ngopi ternyata punya Adit. Besok sore kita ke sana, yah? Aku pengin liat Adit kesal karena dikira aku pacaran denganmu!"


Entah ada berapa banyak lagi kalimat permintaan bernada 'paksaan' yang pernah seenaknya diucapkan Laura. Semuanya hanya dibalas Kenneth dengan 2 kata.

"Ok, Tzu!"

Why was you be that kind, Ken?

Sambil mengetukkan jari tengah dan telunjuknya ke ponselnya, Laura kembali memikirkan Kenneth. Ia masih belum punya keberanian menghubungi lelaki itu.

***
15 menit berlalu, ponsel masih di tangan Laura.

Now or never!

Tanpa pikir panjang lagi Laura segera mengetikkan nama 'Kenneth' di ponselnya. Tombol 'panggil' pun ditekannya. Selang beberapa detik, terdengar bunyi bip bip yang berjeda.

Oh, gosh! Nomornya masih aktif! Laura merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

"Hello, ini siapa, yah?" Suara berat di ujung telepon seketika menelusup pendengaran Laura.

"Hello, aaaa....pa benar iiii....ni Kenneth?" Suara Laura bergetar karena gugup.

"Ya, benar. Siapa ini?"

"Ini Laura. Teman dekatmu semasa kuliah. Masih ingat?" Kecanggungan dalam dada Laura perlahan sirna.

"TZUUUU? Is that you? Kenapa kamu baru nelpon aku, Tzu?" Suara Kenneth setengah berteriak terdengar di ujung telepon.

Hubungan telepon yang lancar dan berakhir dengan rencana mereka untuk bertemu setelah 3 tahun tak bertatap muka sekalipun. Laura senang karena Kenneth ternyata masih sama dengan Kenneth yang ia kenal dulu.

Setelah pertemuan nanti, Kenneth pasti akan mengikuti mauku untuk menemaniku double date.

Senyum tersungging dari bibir kecil Laura yang tak berapa lama kemudian tertidur pulas di bawah selimut ungunya.

***

Dengan kaki yang sedikit gemetar Laura menaiki tangga gedung itu. Gedung perpustakaan yang menyimpan kenangan; kenangannya bersama Kenneth.

Kenapa sih Kenneth maunya ketemuan di sini aja? Laura hanya bisa merutuk dalam hati.

1 anak tangga terakhir dan sampailah Laura di lantai 3.

Siluet lelaki di depannya begitu indah! Hidung mancungnya menjulang menyatakan kegagahannya. Tak berapa lama lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Laura.

"Tzu!"

Mata mereka berserobok. Laura tercengang dan kecanggungan seketika menghimpit dadanya. Ia tak berkutik dari tempatnya berdiri.

Tak ada lagi rambut bergelombang sebahu di kepala lelaki itu. Rambutnya telah dicukur sampai hanya menyisakan setengah sentimeter. Tampilannya rapi dengan kemeja berwarna gading bertangan panjang serta celana kain hitam yang pas. Tanpa disadari, Laura menelan ludah.

"Tzu, kok diam di situ aja?" Kenneth perlahan menghampiri Laura dan meraih tangannya.

***

Pohon besar di depan mata Laura bersemi. Daun-daunnya yang hijau seakan mewakili perasaan Laura saat itu. Ada desir aneh menghinggapi dadanya ketika bercerita dengan Kenneth.

3 tahun berlalu dan Kenneth masih sama dengan Kenneth yang ia kenal dulu. Perubahannya? Kenneth tampak lebih charming sekarang! Laura mencoba menyembunyikan rasa deg-degan itu dengan terus memamerkan barisan giginya yang rapi.

"Ken, sebenernya aku ngajak kamu ketemuan karena pengin kamu ikutandouble date bareng aku," ucap Laura di sela-sela perbincangannya dengan Kenneth.

Angin sore bertiup semakin kencang; mengundang gigil yang kentara di bibir Laura.

"Ok, Tzu!"

2 kata itu seakan memberi angin segar pada dada Laura yang sempat sesak. Why are you still be this kind, Ken? Laura membatin senang.

"Tapi, kamu jemput aku yah, Ken. Alamatku sekarang di apartemen MTC no. 77. Jemput aku jam 6 malam," pinta Laura dengan mata berbinar.

"Ok, Tzu!"

Kembali lagi 2 kata itu keluar dari mulut Kenneth. 2 kata yang selalu bisa membuat Laura tenang dan seakan terbang ke awang-awang.

"Sebaiknya kita segera beranjak dari tempat ini sebelum mati karena hypothermia. It's so cold here, Tzu. Ok?" Kenneth segera menggamit tangan kiri Laura dengan lembut.

Mereka kemudian menuruni tangga sambil berjalan bersisian. Kenneth tak memperhatikan wajah Laura yang merona saat itu.

***

Hari yang ditunggu pun tiba.

Bintang di langit berkelip indah, seindah sepasang mata yang tengah mematut dirinya di depan cermin. Dress chiffon berwarna hitam menempel di tubuhnya. Begitu pas. Begitu cantik. Laura benar-benar telah mempersiapkan dirinya untuk double date ini.

Setelah memoleskan mascara ke bulu matanya, terdengar bunyi ponsel yang diletakkan Laura di atas kasur. Ia meraih ponsel itu.

"Tzu, aku udah di depan MTC. Kamu turun kemari aja, yah. Aku di mobil Daihatsu Sirion putih," pinta Kenneth dari ujung telepon.

"Ok, Ken! 5 menit lagi aku turun!"

Laura melangkahkan kakinya dengan ringan menyusuri lorong apartemennya. Perasaannya begitu berbunga.

Mungkin setelah malam ini aku bisa memikirkan kelanjutan hubunganku dengan Kenneth. Damn! How could I hold myself not to attract to a very charming guy like him?

Pintu lift terbuka dan seorang perempuan yang sudah di dalam lift menatap Laura yang tersenyum sendiri dengan tatapan penuh selidik. Laura tak mengacuhkannya. Ia kemudian tenggelam dalam keceriaan pikirannya.

Sebuah Daihatsu Sirion berwarna putih terparkir di depan MTC. Jalanan lumayan padat karena malam Minggu. Laura memperhatikan kanan-kiri jalan lalu dengan hati-hati menyeberang menghampiri mobil tersebut.

Laura tak bisa melihat Kenneth karena kaca mobil yang gelap. Ia tetap berdiri di trotoar sebelum pintu depan mobil terbuka.

Kenneth turun dari mobil sambil melemparkan senyum ke arah Laura.

"Maaf yah nggak bisa jemput kamu langsung di atas, Tzu," ucap Kenneth basa-basi.

Dengan refleks Laura mendaratkan ciuman di pipi kanan Kenneth dan mendekap tubuhnya sesaat. Ada kecanggungan yang coba disembunyikan Kenneth dari wajahnya saat itu.

Kenneth segera berinisiatif membuka pintu samping mobilnya.

"Emang kamu supir aku, yah, sampe aku harus duduk di belakang?" tanya Laura penasaran. Kenneth hanya tersenyum simpul sambil mempersilakan Laura masuk ke mobilnya.

"Ken, aku duduk di dep..." Laura tak mampu meneruskan kalimatnya.

Seorang perempuan berambut sebahu sudah duduk di kursi depan yang seharusnya aku yang duduk di situ! protes Laura dalam hati.

Laura hanya bergeming. Bibirnya terkatup sementera tanda tanya besar memenuhi benaknya. Dilihatnya Kenneth memasuki mobil dan duduk di belakang setir dengan santainya.

"Tzu, kenalin ini Gracesilia, pacar aku. Hon, jadi ini Laura, sahabat aku yang sering aku ceritain ke kamu."

Perempuan itu segera berpaling ke arah Laura sambil mengulurkan tangan kanannya. Laura hanya bisa membalas uluran tangan itu dengan menjabatnya sambil tersenyum kaku.

"Hai. Aku Lia, pacarnya Kenneth. Senang bisa bertemu denganmu," senyum perempuan itu senada dengan sorot matanya yang indah.

"Lau... Laura," ucap Laura gugup.

"Jadi, double date malam ini di mana, Tzu? Pacarmu udah nunggu di sana ato dia nanti nyusul kita sampe nggak bisa jemput kamu? Hehe," tanya Kenneth sambil menstarter mobilnya.

Pacar? Pacar yang mana? Oh, gosh! Kenapa aku malah menerima kejutan yang nggak menyenangkan seperti ini. Bagaimana kata Angel dan Koko nanti?

Laura mulai menyalahkan dirinya sendiri karena tak sempat bertanya status Kenneth sebelum mengajaknya double date.

Ternyata Kenneth salah sangka. Dikiranya aku mengajak ia dan pacarnya untuk double date bareng aku dan pacarku. Hua! Teriak Laura dalam hati.

"Tzu! Kok melamun, sih? Jadi kita bakalan dinner di mana?" Gigi kelinci itu kembali dipamerkan Kenneth.

"Ken, kayaknya aku tiba-tiba nggak enak badan deh. Aku turun aja, yah. Ken, Lia, maafin aku. Kayaknya double date malam ini batal aja. Aku benar-benar ngerasa nggak enak badan."

Pintu mobil dibuka Laura dengan tergesa. Laura merasa harus lari sejauh-jauhnya sebelum Kenneth tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Laura saat itu.

Suara berat dari dalam mobil yang tadi dinaikinya masih memanggil nama Laura saat ia baru saja berhasil menyeberangi jalan bersamaan dengan ponselnya yang tak henti berdering.

Tanpa menghiraukan panggilan Kenneth, Laura meraih ponsel dari dalam tas tangannya.

Angel is calling...

Tombol off baru saja ditekan Laura yang kemudian tergesa-gesa memasuki gedung apartemen tempat tinggalnya.

It's the worst night ever in my life! Sesal Laura dalam hati. Ekspektasinya pada sosok Kenneth mungkin terlalu tinggi.

Saat hendak memasuki lift, mata Laura berkaca tanpa bisa ditahannya. Lalu ia tak sengaja menabrak seorang perempuan. Perempuan itu sepertinya adalah perempuan yang tadi ditemuinya juga di lift.

Perempuan itu kembali menatap Laura dengan pandangan menusuk. Laura tak memedulikannya.

Tak sampai 1 menit, pintu lift terbuka dan Laura melangkah keluar. Sayup-sayup terdengar suara dari dalam lift. "Perempuan yang aneh! Tadi senyum-senyum kayak orang gila, ini malah nangis nggak jelas. Aneh!"

Dengan spontan Laura membalikkan badannya dan bermaksud memarahi perempuan itu karena sudah berkata lancang, tapi pintu lift sudah tertutup. Mungkin sama dengan kesempatannya memasuki hidup Kenneth yang sama sekali sudah tertutup.

Sebulir air mata jatuh ke pipi Laura tanpa bisa dihentikannya.

Upaya Menuliskan Kematian Sendiri

$
0
0
Picture is been taken from here
Bagaimanakah cara paling mudah dan (mungkin) tidak terlalu menyakitkan untuk mati? Aku ingin mati dengan cepat, tanpa basa-basi. Tamat sebelum penyesalan merayap dalam hati.

Lalu aku mulai membayangkan seandainya saja "buku ajaib" seperti dalam film "Death Note" benar-benar ada. Aku menyebutnya "buku ajaib" karena bukankah mati adalah suatu keajaiban? Bayangkan, di saat milyaran orang di muka bumi ini ingin terus hidup (bahkan ada yang ingin hidup selamanya), buku tersebut bisa mengabulkan keinginanku untuk mati dengan cara apa pun. Ajaib, bukan? Oh, tentu saja aku hanya akan menuliskan namaku sendiri di situ, bukan nama orang lain karena aku bukanlah seorang pembunuh. Namun yang kupikirkan saat ini adalah bagaimana cara yang paling mudah dan (mungkin) tidak terlalu menyakitkan untuk mati?

Visualisasiku terlalu nyata. Aku merasa "buku ajaib" itu kini sudah ada dalam tanganku. Aku tinggal memikirkan saja cara untuk mati. Hmm...

Namaku menenggak racun serangga.

Uhhh, bagaimana rasanya? Racun serangga itu manis, pahit, atau tawar? Coba kutanyakan pada seranggakarena bertanya pada mereka yang sudah tewas setelah meminumnya pastilah mustahil. Sayangnya serangga tak bisa bicara. Jadi, kusimpulkan sendiri kalau racun serangga itu pahit. Aku tak mau mati dengan lidah dan kerongkongan terbakar karena menahan kepahitan racun itu. Coret cara ini!

Namaku menjatuhkan diri dari atas gedung bertingkat.

Bagaimana rasanya ketika, karena gaya gravitasi, tubuh menghantam tanah setelah jatuh dari ketinggian? Aku lalu membayangkan kepalaku pecah, tulang-tulangku patah, dan... otakku terburai. Oh, mengerikan! Aku tak ingin mati dengan tampang mengerikan seperti itu. Coret cara ini!

Namaku menabrakkan diri pada kereta yang melaju.

Wow, cara ini pasti akan terdengar dramatis. Semuanya pasti berlangsung dengan cepat. Aku hanya perlu melintasi palang pembatas ketika kereta sudah mendekat. Lalu... semuanya akan berlangsung begitu saja. Tubuhku akan terpental beratus-ratus meter, dan orang-orang akan menemukanku yang tak lagi bernyawa. Oh, tunggu. Aku tak suka dikerubungi apalagi saat itu terjadi mereka pasti akan mencelaku dengan menyebutku bodoh! Coret cara ini!

Namaku overdosis obat tidur.

Betapa damainya jika mati dengan cara ini. Tapi, tunggu... Bukankah aku benci menelan pil? Aku bahkan sudah muntah duluan sebelum pil tersebut masuk ke dalam mulutku. Arrgghhh! Coret cara ini!

Namaku tertikam badik tepat di dada kiri.

Betapa kerennya cara mati seperti ini! Jantungku, mana jantungku? Aku mulai merabai dadaku. Deg.. deg.. deg.. Ia berdetak dengan irama yang beraturan. Aku seperti sedang dininabobokan saat mendengarkan detak jantungku sendiri. Ah, jantungku yang baik, aku tak mungkin menyakitimu dengan belati tajam tak berperasaan itu. Coret cara ini!

Sudah 5 cara kupikirkan, tapi semuanya seperti bukan cara terbaik untuk mati. Dan sekarang entah kenapa rasa itutentu saja, rasa ingin mati, menguar bersamaan dengan uap kopi yang kuseduh di atas cangkir kesayanganku. Aku jadi... hmm katakanlah tak ingin mati.

Kamu marah? Kamu kecewa dengan tulisanku? Kamu mungkin punya ide yang lebih baik tentang cara yang paling mudah dan (mungkin) tidak terlalu menyakitkan untuk mati? Jika ia, bagaimana kalau kamu sendiri saja yang mencobanya?

Dan sebelum kamu melakukan caramu itu, ada baiknya jika kamu mencoba menjadi "aku" dalam tulisanku ini. Barangkali setelah itu kamu bisa berubah pikiran sepertiku. Karena aku di sini hanya sedang berupaya menuliskan kematianku sendiri. Kematian yang ternyataseberkuasa apa pun aku terhadap diriku sendiri, adalah kehendak Ilahi. "Buku ajaib" itu memang ada, tapi yang memegangnya hanyalah Dia. Kamu tahu, kan, siapa Dia?

Catatan Kecil Setelah Pertengkaran Besar Pagi Tadi

$
0
0
Picture is been taken from here
Pagi tadi mereka bertengkar setelah sekian lama tak beradu mulut seperti itu. Aku menajamkan pendengaran dari kamarku, sudah lama sekali aku tak mendengarkan pertengkaran sengit semacam itu.

Lelaki itu dengan keras kepala membenarkan argumennya, ia merasa perempuan itu salah karena selalu membela tetangga mereka. Menurutnya, bertahun-tahun tetangga mereka menaruh iri pada mereka, hingga sampai sekarang pun tetangga itu berusaha mati-matian untuk menghancurkan mereka. Suara beratnya menggelegar, ia bahkan tak segan membentak perempuan itu, dan aku yakin pula sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah perempuan itu dengan geram.

Perempuan itu yakin benar bahwa si lelaki terlalu sinis terhadap orang lain, termasuk kepada tetangga mereka itu. Katanya, jika mereka memang bermaksud jahat, toh cepat atau lambat kejahatan mereka akan berbalik. Jadi, buat apa mendendam apalagi melakukan pembalasan? Entah ada berapa banyak kalimat nasihat yang keluar dari mulut perempuan itu di sela nada suaranya yang semakin meninggi. Tapi lelaki itu tetap tak mau kalah, menurutnya perempuan itu salah, dan hanya dia seorang yang benar.

Begitulah pertengkaran tersebut terus berlangsung. Aku bahkan sengaja tak ingin melerai mereka. Meski dalam hati aku sedikit geram karena lelaki itu tak mau sedikit saja melunakkan kekerasan hatinya sementara perempuan itu terbatuk-batuk menahan sakit di dadanya. Ingin rasanya aku keluar dan menonjok lelaki itu atau memukul kepalanya dengan gagang sapu agar ia berhenti mengoceh. Tapi yang kulakukan hanya diam, dan terus mendengar.

15 menit berlalu, kudengar derap langkah diiringi tangis terisak di samping kamarku. Suara perempuan itu. Sepertinya ia tak tahan lagi dan memilih menjauh. Hatinya pasti sakit. Kesakitan yang entah kenapa turut menjangkiti batinku. Aku jadi membenci lelaki itu. Jika keberadaannya hanya untuk membuat perempuan itu sakit hati, kenapa dia tidak mati saja? Diam-diam aku merapal doa, entah pada siapa, aku ingin lelaki itu mati!

Aku membalik lembaran buku tanpa fokus membacanya. Tak ada satu pun kata yang menyantol di otakku, hanya pertengkaran mereka yang masih gentayangan di benak. Sejam sejak pertengkaran itu, sayup-sayup kudengar perempuan itu melantunkan lagu dari teras rumah. Suaranya begitu ceria seolah tak terjadi apa-apa antara dirinya dengan lelaki itu. Aku tahu ia hanya berpura-pura agar tiap orang yang lewat mengira betapa bahagianya dia. Aku pun tak mau ambil pusing, dan terus saja membalik lembaran buku di tanganku.

Matahari baru saja surut ketika aku memutuskan ke luar kamar karena perut yang keroncongan. Suasana di luar kamar begitu sunyi. Sampai di dapur yang jaraknya cukup jauh dari kamarku tak kutemui perempuan juga lelaki itu. Ke mana mereka? Pertanyaan yang segera kuabaikan karena mengisi perut yang kosong adalah prioritas utamaku. Sesampainya di dapur, aku mendesah kecewa. Tak ada makanan di sana, hanya sebungkus roti yang ada dalam lemari. Aku mengambil roti itu lalu menyeduh secangkir kopi hitam pekat, minuman kesukaanku. Tak apalah hanya roti dan kopi, setidaknya aku tak akan mati kelaparan. Mungkin perempuan itu enggan memasak karena pertengkaran tadi pagi, batinku lirih.

Roti sudah kusantap dan kopi pun sudah tandas, tapi masih juga tak kujumpai perempuan dan lelaki itu. Gegas aku kembali ke dapur, dan mencuci cangkir yang baru kupakai. Aku lalu kembali ke kamar, menyalakan laptop, dan berseluncur di dunia maya. Aku jadi lupa pertanyaanku tentang keberadaan perempuan dan lelaki itu yang belum juga terjawab.

Jam dinding di ruang tamu berdentang 12 kali. Sudah jam 12 malam, dan suasana di rumah makin sepi saja. Aku masih asyik di depan laptopku, mengetikkan tulisan ini.

Oh, ya. Jika ada yang melihat perempuan dan lelaki yang tadi pagi bertengkar di ruang tamu, tolong kabari aku. Aku takut lelaki itu telah berbuat sesuatu yang mencelakakan perempuan itu. Tapi aku akan merasa senang jika doaku-entah-pada-siapa tadi pagi benar-benar dikabulkan. Kamu tahu, kan, aku ingin lelaki itu mati saja?

Hooaaammm... Kantuk mulai menyergap, sepertinya aku butuh menyeduh secangkir kopi lagi agar supaya bisa melanjutkan tulisan ini sampai selesai. 5 menit lagi aku akan ke dapur, ingatkan aku untuk menyeduh kopi hitam pekat kesukaanku. Aku tak ingin dikalahkan kantuk.

Hmm, sebelum aku ke dapur, ada 1 rahasia yang ingin kuungkap di sini: sebenarnya sudah 3 tahun aku hanya tinggal sendiri di rumah ini.

Ke dapur dulu, ya. Daahhh...

Kegelapan adalah Sarang Setan

$
0
0
Picture is taken from here
Katanya, kegelapan adalah sarang setan. Aku bergeming, dan mencoba mencerna kata-katanya. Kata-kata yang setelah besar hanya menjadi angin lalu. Karena kini, aku justru menyukai kegelapan.

Kalau ada orang yang merasa sesak napas ketika berada dalam tempat yang gelap, aku justru sebaliknya. Aku selalu merasa bisa bernapas lebih lega jika dalam kegelapan. Kalau ada yang merasa ketakutan dalam gelap, aku justru merasa damai. Jadi, jika kelegaan dan kedamaian bisa kudapatkan dalam kegelapan, kupikir salah besar jika kegelapan itu diidentikkan dengan sarang setan, bukan begitu?

Kau tak perlu setuju dengan pendapatku karena aku toh bukan orang itu, yang dulu sempat merecokiku dengan perkataan di atas.

Semalam lampu mati. Dia dan aku duduk bersebelahan. Oh, tentu saja bukan dia yang kuceritakan sebelumnya, tapi dia yang lain. Dia yang membuatku salah tingkah jika berada bersamanya di tempat yang terang. Syukurlah semalam suasana di sekitar kami begitu gelap hingga aku merasa lebih leluasa, dan bisa menyembunyikan kegugupanku.

Awalnya dia duduk di kursi yang lain, namun entah kenapa memutuskan berpindah ke sebelahku. Di ruang tamu rumahnya kegelapan menyergap. Rasanya seperti sedang berada di dalam tenda di tengah hutan ketika berkemah. Hanya dia dan aku. Sekeliling kami terasa senyap.

"Haruskah aku nyalakan lilin?" tanyanya sambil mengelus tangan kananku.

"Tak perlu. Mungkin sebentar lagi lampu akan menyala," aku berpaling ke arahnya dan tak menemui wajah yang kukagumi itu. Hanya desah napasnya yang sekali-kali berembus mengenai wajahku. Darahku berdesir apalagi ketika dia mulai menggenggam tanganku.

"Boleh pinjam ponselmu?"

"Untuk apa?"

"Hanya ingin melihat foto-foto."

"Tak ada apa-apa di sini."

"Pleaseee..."

"Baiklah."

Ponselku pun sudah berpindah tangan.

Beberapa menit berlalu, dia masih sibuk menyorongkan trackpad ke arah kanan; memperhatikan satu per satu foto yang kusimpan di ponsel. Jantungku berdegub tak beraturan.

"Jadi benar kamu berpacaran dengan lelaki ini?" cahaya layar ponsel seketika menyilaukan mataku ketika dia mengarahkannya padaku.

"Masa lalu," jawabku singkat.

"Tapi, kenapa kamu masih menyimpan fotonya di ponselmu?" suaranya sedikit bergetar.

Hening. Aku tak tahu harus menjawab apa. Lelaki yang fotonya terpampang di layar ponsel memang hanyalah bagian kecil dari masa laluku. Tentang kenapa fotonya masih kusimpan, aku pun tak tahu. Mungkin aku yang terlalu malas mengutak-atik ponsel hingga lupa ada fotonya di situ, belum sempat kuhapus.

"Kamu masih mencintainya?" tanyanya sekali lagi. Genggaman tangannya sudah terlepas. Spontan aku meraihnya lalu tanpa pikir panjang mencium bibirnya.

Dia, tentu saja, tak membalas ciumanku tapi tak juga mengelak. Ini adalah ciuman pertama kami. Entah kenapa aku merasa jawaban terbaik adalah dengan memberinya ciuman agar dia yakin bahwa hanya dialah yang ada di hatiku.

5 detik berlalu, bibir kami masih saling menempel. Benarkah kegelapan adalah sarang setan? Napasku memburu. Aku tak lagi peduli meski belum ada respon dari bibirnya. Aku melumat bibirnya dengan penuh nafsu. Darahku seakan mengalir ke otak dengan begitu cepat, tak berapa lama dia membalas dengan turut memagut bibirku. Di ruang tamu rumahnya kami berciuman dengan ganas.

"Hapus foto-fotonya!" napasnya masih memburu ketika mengucapkan permintaan ini. Kami baru selesai berciuman.

"Baiklah," jawabku sambil mengambil ponsel dan kemudian menghapus semua foto lelaki itu.

Tak berapa lama, lampu menyala. Aku kembali gugup. Cahaya terang memang selalu membuatku kehilangan kepercayaan diri. Sial!

"Aku pamit dulu, ya?" pintaku setelah memperlihatkan folder foto di ponsel yang sudah kosong.

"Kenapa tidak menginap di sini saja?" dia menggengam tanganku seolah tak ingin melepasnya.

"Sudah malam. Besok aku kembali lagi, ok?"

Dengan langkah yang diseret dia mengantarkanku sampai ke depan pintu rumahnya. Tak ada ciuman perpisahan karena lampu di teras rumahnya tidak dipadamkan. Aku lalu berjalan kaki ke rumahku yang hanya bersebelahan dengan rumahnya.

Sesampainya di rumah, aku langsung memasuki kamarku. Lampunya padam.

"Lama sekali," ucap lelaki dari balik selimut. Dia lalu bangkit, dan menghampiriku.

"Kenapa lama?" tanyanya lagi sambil menatap mataku, "bukunya mana?"

"Hmm, dia belum selesai membaca buku itu, dan aku merasa tak enak saja jika memintanya segera mengembalikannya," jawabku bohong. Padahal waktu itu aku benar-benar lupa tujuanku sebenarnya untuk mengambil bukuku.

"Lantas kenapa lama sekali? Oh, aku tahu, kebiasaan perempuan pastilah kalian memperbincangkan segala hal dari yang penting sampai yang tidak penting. Benarkah tebakanku?"

Aku hanya mengangguk, kembali membohonginya.

Dia lalu meraihku ke dalam pelukannya. Setelah itu, hanya desah napas yang beradu yang terdengar. Mungkin benar, kegelapan adalah sarang setan.

Catatan Kecil Sebelum Hari Pernikahan

$
0
0

Picture is taken from here
Seminggu sekali, waktu yang kurasa tak pernah cukup untuk menuntaskan kerinduan bertemu denganmu. Kadang kita bercerita begitu intens, namun tak jarang pula hanya bercakap seadanya. Sejak rasa itu menelisik dalam dada, aku jadi salah tingkah apalagi ketika kamu menatap mataku begitu dalam, jantungku rasanya hendak meloncat!

Sudah 3 bulan sejak pertama kali kamu mengulurkan tangan kananmu sembari menyebutkan namamu. Sudah 3 bulan pula nama tersebut tersimpan di benakku, dan tak jarang kusebutkan di kala aku merapal doa setiap hari. Kamu, dengan segenap kepolosan pun kelembutanmu telah membuat hatiku jatuh telak. Aku tak bisa menyangkal tentang rasa itu yang kini menghinggap di dada.

Jumat kemarin, lagi-lagi kamu mengusikku. Minta dijemput. Waktu itu hujan turun tak sebegitu derasnya, tapi dengan suara manjamu di telepon kamu berhasil membujukku untuk datang menjemputmu. Aku pura-pura keberatan dan memintamu untuk datang sendiri saja, tapi sekuat apakah aku sampai bisa menahan rayuan suara merdumu?

Aku pun melangkah menantang hujan di malam yang dingin bertemankan sebuah payung cokelat yang kugenggam erat. 15 menit berselang, aku tiba di depan rumahmu. Kamu menyambutku dengan senyum manis yang sangat kurindukan. Aku memanggilmu, tapi kamu malah menyuruhku menjemputmu sampai ke teras rumah. Awalnya aku menggelengkan kepala, setelahnya? Kaki ini dengan ringan melangkah ke arahmu.

Kita pun berjalan bersisian, melewati jalanan yang masih saja diguyur hujan. Refleks, tanganmu menggamit tangan kananku yang tengah memegang payung. Aku, tentu saja, pura-pura bertindak biasa saja. Padahal sesungguhnya aku merasa seperti roket yang melesat ke angkasa.

Rumah yang hangat itu kembali menyambut kita. Rumah tempat kamu dan aku juga teman-teman kita sesama ambivert menghabiskan waktu. 2 jam saja, seminggu sekali yaitu tiap hari Jumat, kita akan berkumpul di rumah itu. Berdiskusi tentang apa saja, sesekali berekreasi, memasak bersama, atau jika ada yang ingin menyendiri untuk membaca, tak ada yang akan melarang. Itulah mengapa kita semua begitu betah berada di rumah itu.

Aku, sebagai seseorang yang katakanlah sudah cukup senior di "Klub Ambivert", begitulah namanya, merasa senang ketika mendapati ada saja pertambahan setidaknya 1 anggota baru setiap bulan. Dan 3 bulan lalu, kamulah anggota baru itu. Kamu, yang mengaku juga adalah seorang ambivert merasa perlu untuk bergabung di perkumpulan ini. Karena sama sepertiku yang rindu berkumpul tapi juga tak jarang ingin menyendiri, kamu pun demikian.

Sejak mengetahui aku dulu kuliah di jurusan yang sama dengan yang sementara kamu tekuni, kita pun menjadi lebih dekat. Berawal dari berbagi pengalamanku tentang perkuliahanku dan segala tetek-bengek yang berhubungan dengannya, kamu mulai bertanya tentang kehidupan pribadiku. Aku, tentu saja, tak akan begitu mudahnya terbuka kepada kenalan baru meski kamu, tanpa kutanya, bisa berbagi tentang kehidupan pribadimu. Aku merasa semakin mengenalmu sementara aku masih merahasiakan beberapa hal dalam diriku yang kurasa tak perlu kamu ketahui.
"Selamat tidur. Tak sabar rasanya menunggu seminggu berlalu supaya bisa berkumpul lagi di 'Klub Ambivert'. Hihii..."
1 pesan singkat darimu mengusikku yang tengah asyik membaca buku. Pesan bernada sama seperti yang kamu kirimkan selama beberapa minggu terakhir. Lagi-lagi, sengaja tak kubalas karena aku bisa memprediksikan apa yang akan terjadi setelahnya...


Ponselku berdering. Sesuai dugaan, kamu akan meneleponku.
"Sudah tidur?"
"Sedang membaca buku."
"Baiklah. Selamat membaca."
Telepon pun dimatikan. Selalu begitu. Kupikir, tak perlu bercerita panjang lebar karena kita sudah saling mengetahui apa yang ingin disampaikan. Aku tahu kamu rindu bahkan ketika kita baru saja berpisah. Aku tahu kamu bisa saja ke rumahku kapan saja, tapi niat tersebut kamu urungkan karena terkadang membiarkan kerinduan meletup di dada lebih baik daripada menuntaskannya dengan impulsif. Karena jika rasa itu telah menguar mungkin akan sulit dimiliki lagi. Dan kamu pasti tahu, aku pun berpikir hal yang sama. Kamu dan aku mungkin sudah terlalu pintar mengkamuflase rasa; bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.

Aku tahu, rasaku telah jatuh telak padamu. Kamu pun demikian. Tapi kutahan keinginan untuk memilikimu karena nyatanya aku sudah dimiliki. Kamu tak perlu tahu siapa dia karena dia terlalu baik untuk kutinggalkan. Alasan yang klise memang, dan aku tak ingin memperjuangkan sesuatu yang seharusnya kuperjuangkan, seperti rasaku untukmu. Biarlah kamu dan aku terus seperti ini, saling mencintai dan merindukan tanpa harus memiliki.

Kamu tahu, S... Pergolakan dalam dada telanjur kuredamkan agar tak ada yang terluka di sini. Teruslah merinduku, teruslah mencintaiku, sama seperti aku yang akan terus melakukannya untukmu meski kita memang tak ditakdirkan menyatu.

Dari lelaki yang terlalu takut untuk memperjuangkan 'kita'.

***

Kututup lembaran surat itu sebelum dadaku semakin sesak dibuatnya. Surat yang 3 tahun lalu dikirimkannya untukku. Dia, yang dulu hanya bisa kujumpai setiap hari Jumat. Dia, yang sejak surat itu kuterima tak pernah lagi memunculkan batang hidungnya. Dia, yang telah mencuri hati ini namun lupa mengembalikannya. Dia, yang membuatku kini harus berpura-pura membagi cinta pada seorang lelaki yang dalam hitungan hari akan menyematkan cincin di jari manisku. Karena manusia tak mungkin bisa mencintai 2 orang sekaligus, maka seperti dirinya, aku pun memilih untuk dimiliki oleh dia yang mencintaiku bukan dia yang kucintai.

Morning Person. Am I?

$
0
0

Though I was born in the morning, but I’m not a kind of a what-they-so-called morning person. Waking up in the morning is such an impossible thing for me to do. That’s why when I said I’m going to do jogging almost every morning (or even dawn), people laughed out loud cause they took my decision as a joke.

So, to prove it, I try hard waking up in the morning and do jogging. And, guess what… I did it! Again, I DID IT! You must be proud of me. Indeed. Hahahahaahaa…

So, here are some pictures I’ve taken (as a proof) when I did jogging in some chances. Thank God, I’m no longer a night owl but I’ll proudly say that I AM A MORNING PERSON! Hohohohohoo… ^^ 
*some pictures might be blur cause the resolution in my camera is not as good as I hope. ._.

















Saying 'hii' to the morning sky... ^^

Untuk Kakek Bermantel Oranye

$
0
0

Matahari belum juga mengintip dari balik awan ketika kau dengan langkah pasti menyusuri jalanan yang tentu saja masih lengang. Aku tak sengaja sudah mengikutimu dari belakang. Jogging. Hal yang kusukai dan mulai kugalakkan untuk menjadi bagian dari hobi, yang kurasa juga adalah hal yang sama yang kaugemari.

Langkah kaki kita seirama. Kiri, kanan, berganti kiri, lalu kanan lagi, dan seterusnya. Panjangnya jarak tempuh tak menjadi masalah karena kesejukan dan aroma pagi yang menyapa seolah menjadi teman setia penghangat hati. Kau mungkin tak menyadari kehadiranku di belakangmu yang sebenarnya hanya berjarak sekitar 5 meter darimu.

Di saat manusia-manusia lain masih terlelap di bawah selimut, kau dan aku sudah berani menantang pagi dengan kaki yang bergerak maju. Usiamu mungkin terpaut jauh dariku. 50 tahun, mungkin. Tapi aku bisa merasakan semangatmu menulariku lewat setiap jejak yang kautorehkan di jalan.

Kakek bermantel oranye, terima kasih karena meski tanpa kausadari, kau telah menjadi temanku jogging di pagi ini. Aku jadi semakin mencintai hobiku ini karena banyak sisi kehidupan yang bisa kulihat dan mustahil kudapati jika saja aku lebih memilih meladeni kantuk. Salah satunya adalah dirimu. Kau mengajariku bahwa usia bukanlah penghalang untuk memelihara gaya hidup sehat. Tubuh boleh saja dimakan usia, tapi ketika semangat tetap berkobar kurasa itulah hakikat dasar kehidupan: menghargai tiap desah napas dengan terus bergerak karena hal tersebut sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk dinamis.

Kau pun terus menapaki jalanan. Begitupun aku, di belakangmu tentu saja. Saat matahari mulai menampakkan diri, aku tersenyum. Aku yakin, kau pun ikut tersenyum saat itu. Hari baru telah tiba, dan kau juga aku telah siap menyambutnya dengan semangat dan harapan.

Pagi sungguh teramat baik. Kupikir, merugilah mereka yang melewatkan keajaiban pagi dengan tidur.

Semoga pada kesempatan berikutnya kita bisa bertemu lagi, dan saat itu tiba aku ingin sekali menyapamu dengan ucapan selamat pagi. Tunggu aku, kakek bermantel oranye.


Selamat Datang (Kembali), K...

$
0
0
Picture is taken from here
Pernahkah kau merasa begitu bahagia sampai ingin meneteskan air mata? Bukan air mata keharuan, namun kali ini benar-benar air mata kesedihan. Kau menyadari seseorang yang paling layak turut berbahagia bersamamu ternyata sudah tiada, hingga tiap tetes air mata yang jatuh ke pipimu mewakili tiap kerinduanmu akan hadirnya.

Malam itu, entah ada berapa bulir hangat jatuh membasahi pipiku. Aku begitu merindukannya di tengah luapan kebahagiaan yang semestinya aku rasakan. Sosok yang tegas namun penuh cinta, dialah yang dengan bangga kusebut Papa.

Sudah 2 tahun dia pergi meninggalkanku selamanya. Sudah 2 tahun pula seorang lelaki "menggantikan posisinya" di hatiku. Tak sepenuhnya "menggantikan" karena Papa memang tak bisa tergantikan. Tapi kehadiran lelaki itu cukuplah membuatku merasa dicintai dan diayomi. Membuatku yakin bahwa lelaki baik seperti Papa benar-benar ada di dunia ini.

"Kenapa menangis?" kurasakan tangannya yang kekar memelukku dari belakang tatkala suara beratnya menelusup pendengaran.

Aku lantas berbalik dan memeluknya; mencurahkan segenap kesedihanku. Badanku berguncang hebat, dan ia mendekapku semakin erat.

"Aku kangen Papa!" ucapku lirih tanpa bisa membendung air mata yang terus menetes.

"Aku sudah berjanji akan menjagamu seumur hidupku. Dan aku tak akan mengecewakanmu juga Papamu." pelukannya semakin terasa. Dia mengecup kening lalu bibirku. Perlakuannya sedikit menenangkanku, dan membuatku nyaman terus berada dalam dekapannya. Hening setelahnya. Hening yang mengantarkanku ke alam mimpi di mana Papa "menampakkan dirinya" di sana.

"Mie ayam spesial untuk putri kesayangan Papa," sambil meletakkan baskom di atas meja makan, senyum tersungging dari bibirnya yang tipis seperti bibirku.

Sesaat kemudian kami sudah asyik melahap mie ayam yang menurutku paling nikmat sejagad raya. Aku melirik ke arahnya, kuperhatikan keringat bercucuran membasahi dahi dan jatuh ke pipinya. Papa memang penikmat makanan apa pun, dan itu jelas terlihat dari keringatnya saat makan yang menandakan ia begitu menikmati makanannya. Aku pun demikian. Papa memang mewariskan begitu banyak hal darinya kepadaku.

Mie sudah tandas. Dan setelah merapikan alat makan dari atas meja, Papa kembali menghampiriku. Aku tahu Papa akan membicarakan hal yang penting. Karena sudah menjadi semacam "ritual" bagi kami berdua di mana Papa akan mengajakku makan mie buatannya, dan setelahnya bertukar pikiran denganku tentang suatu hal yang penting di matanya.

"Kamu harus biasakan jalan pagi, makan teratur, tentunya makanan yang bergizi, dan jangan terlalu kecapekan bekerja," matanya yang teduh mengarah langsung ke dalam mataku.

"Iya," jawabku sekenanya.

"Papa serius, Nak. Papa nggak mau kamu jatuh sakit di saat segenting ini. 9 bulan 10 hari bukanlah waktu yang singkat untuk merasakan perubahan yang cukup drastis yang akan terjadi pada tubuhmu," nada suara Papa semakin berat dan terdengar khawatir.

"Iya, aku tahu. Kan ada suamiku yang selalu sedia menjaga dan melindungiku, Pa?" aku menimpali ucapan Papa dengan kalimat menggoda. Papa lantas tersenyum kecil.

Scene dalam mimpi itu seketika mengabur. Ingin rasanya melanjutkan kemesraan bersama Papa meski hanya lewat mimpi, apalagi ketika mengingat kesalahan fatal yang kuperbuat yang membuat Papa syok dan mendapatkan serangan jantung. Hal yang paling kusesali seumur hidupku karena kebodohanku sampai Papa harus pergi selamanya.

Saat aku tersadar matahari tengah mengintip dari jendela kamar yang gordennya sudah terbuka lebar.

"Selamat pagi, Kesayanganku..." suara beratnya terdengar begitu merdu di telingaku. Aku mengerjapkan mata dan mendapatinya sudah di depanku dengan tangan yang siap memelukku. Aku pun membiarkan tangan itu dilingkarkan ke tubuhku, dan bibirnya menciumi dahi juga bibirku. Inilah "ritual pagi" kami sejak menikah. Suatu hal yang tak bosan dilakukannya dan membuatku merasa semakin dicintai olehnya.

Kami berciuman sejenak sebelum kutinggalkan ia lalu melangkah ke kamar mandi.

"Bagaimana kalo aku yang memandikanmu?" ia ternyata mengekoriku.

Aku pura-pura saja tak mendengar kalimat bernada permintaan itu, dan meninggalkannya yang mematung di depan pintu kamar mandi. Batinku tergelitik.

***

Pernahkah kau merasa begitu bahagia bahkan di saat kau harus meringis menahan sakit; mempertaruhkan hidup dan mati untuk suatu kehidupan baru yang siap kaujelang? Pagi ini aku merasakannya, apalagi ketika bayi seberat 3,4 kg tersebut diserahkan dokter ke tanganku. Sukacitaku seketika penuh, senyum mengembang di wajahku yang sebenarnya sudah sangat kelelahan. Segala peluh bahkan darah yang mengucur tergantikan dengan kebahagiaan yang sulit kugambarkan dengan kata-kata. Hari ini aku resmi menyandang status sebagai seorang ibu. Kehidupan telah mengantarkanku pada suatu babak baru. Lebih lengkap, lebih menantang sekaligus lebih menggairahkan untuk kujalani.

Apalagi ketika melihat seorang lelaki yang begitu setia mendampingiku di saat-saat aku berteriak menahan sakit. Ia yang menggenggam tanganku seolah menguatkanku, dan turut merasakan kesakitanku. Seorang lelaki yang baru kusadari telah membuat hatiku jatuh telak setelah kesetiaan dan cintanya teruji tak tergerus waktu. Aku bersyukur kini bisa menyebutnya ayah dari putri kecilku. Seseorang yang kuharapkan kelak bisa mendidik dan menyayangi anak kami sama seperti yang dilakukan Papaku ketika beliau masih hidup.

***

Sebuah karangan bunga diletakkan suster di meja di samping kasurku.

"Bunga itu dari siapa?" tanpa basa-basi aku langsung melayangkan pertanyaan pada suster yang hendak beranjak ke luar.

"Mungkin dari kerabat Ibu," suster itu mencoba menebak.

Aku pun meminta bantuannya untuk mengambilkan bunga itu. Ada kartu berwarna merah muda terselip di tengahnya.

"Selamat menyongsong bahagiamu sebagai seorang ibu. With love, K."

Jantungku rasanya mau copot! Kenapa dia harus "hadir" lagi dalam hidupku? Hanya ucapan selamat yang terlihat sepele, tapi tidakkah ia berpikir bahwa aku pun pantas berbahagia dengan pilihanku?

Kenapa, K? batinku spontan mengajukan protes.

Pintu kamar berderit. Suamiku terlihat melangkah masuk dan berjalan ke arahku dengan senyum semringah.

"Selamat sore, Kesayanganku... Wow! Karangan bunga dari siapa itu?" ia sudah berdiri di depanku.

Aku mulai salah tingkah, dan benar-benar tak tahu harus menjawab apa.

Mendapati pertanyaan yang tak kugubris, ia malah tak acuh dan bersikap biasa saja. Didekatkannya wajahnya ke wajahku sambil berucap lembut, "Jadi, sudahkah terpikirkan sebuah nama untuk anak kita? Karena aku berpikir nama 'Keenan' adalah nama yang manis untuknya, tidakkah kau setuju, Sayang?"

Aku ikut berpikir, dan beberapa detik setelahnya mengangguk pelan. "Keenan", nama yang indah. Seperti nama seseorang di masa laluku. Seseorang yang juga tak kalah indah, tapi terlarang untuk kumiliki.

Suamiku lantas mendekap tubuhku sambil mencium kening lalu bibirku.

Selamat datang kembali, K... aku hanya bisa menggumam dalam hati sambil membalas dekapan suamiku. Kali ini, kupastikan hatiku takkan jatuh lagi pada tujuan yang salah.

Akibat dari Keseringan Duduk di Warung Kopi

$
0
0
Picture is taken from hereXD
Faktanya, orang yang sering duduk di warung kopi mempunyai tingkat kesabaran lebih tinggi dibanding yang tidak.
Kenapa saya bisa bilang demikian? Karena ada beberapa orang yang hanya duduk sendirian menikmati secangkir kopi hangat tanpa melakukan apa pun selama beberapa jam. Contohnya diri saya. Saya bisa menghabiskan beberapa jam hanya duduk menikmati segelas kopi hangat kesukaan saya. Mungkin bagi beberapa orang itu adalah hal yang amat sangat membosankan, tapi buat saya itu adalah bagian dari melatih kesabaran dan tempat di mana saya mempunyai keinginan untuk memulai menulis, tak tahu apa karena saya punya bakat menulis atau hanya sekadar iseng belaka. Tapi semenjak duduk di warung kopilah, rasa ingin menulis saya sangat kuat.
 

Dan sampai kapan pun, warung kopi akan menjadi tempat favorit saya.


Oh iyah, untuk foto wajah saya di atas, bukan karena terlalu banyak kopi yang saya konsumsi ataupun lamanya saya duduk, tapi karena saya lupa cara berekspresi.

Selanjutnya bagaimana Anda mendefinisikan sendiri. :)


Post di atas sepenuhnya adalah hasil copas dari post ini. No, it's not a kind of plagiarism cause I mentioned the source of this post. :p

Kenapa saya menulis (atau katakanlah "menduplikasi") post tersebut? Katakanlah saya sedang kangen menulis di blog dan karena tidak ada ide tentang apa yang harus ditulis jadilah saya blog walking ke blog tersebut dan merasa tergiur untuk mengisi blog saya. Hihii...

Siapa orang di foto blog post ini? Jika Anda penasaran, silakan berkenalan dengannya di sini and if you don't mind, please tell him that I m**s him. #eh :')))))

Tentang Rasa Memiliki

$
0
0
Rasa memiliki ibarat sebuah koin; di satu sisi ia membuat kita nyaman, di lain sisi ia membuat kita was-was.

Waktu menunjukkan pukul 02:30 ketika aku terbangun dari tidurku yang singkat dengan perasaan sedih yang tak bisa digambarkan. Mungkin kesedihan itu muncul sebagai imbas dari mimpi buruk. Dalam mimpi itu aku harus kehilangan beberapa teman yang kukasihi.

Setelah berhasil menenangkan diri dengan minum segelas air hangat, aku kemudian mencoba menganalisa apa yang baru saja kualami. Kenapa aku bersedih ketika harus kehilangan teman-temanku? Jawaban yang mengerucut kemudian adalah: karena aku merasa memiliki mereka.

Perasaan memiliki yang awalnya membuatku merasa nyaman ketika berada di samping teman-temanku ternyata bisa juga menjadi sumber kerapuhan. Aku (terlalu) takut kehilangan mereka, sehingga saat itu seakan benar terjadi (yakni lewat mimpi) ada kesedihan luar biasa yang cukup sulit untuk kutanggulangi.

Pertanyaannya, salahkah bila merasa memiliki?

Mungkin tak ada yang salah dengan merasa memiliki, tapi yang diperlukan adalah kesiapan hati jika suatu saat kehilangan harus terjadi. Tak ada yang abadi, termasuk mereka yang kita miliki.

Perenungan ini melontarkanku pada pemahaman terdalam bahwa sungguh sulit untuk ikhlas. Menurutku, hanya orang-orang kuat yang mampu memiliki keikhlasan yang sebenarnya. Ikhlas itu tak hanya sekadar berkata, "Aku ikhlas!" tapi bagaimana meyakinkan hati untuk legowo saat benar-benar harus kehilangan.

Aku tak ingin bersedih ketika harus menghadapi sebuah (atau bahkan) kehilangan (yang bertubi-tubi). Aku ingin kuat! Aku ingin ikhlas! Dan saat semuanya masih dipercayakan Tuhan untuk kumiliki, aku akan berusaha menghargai semuanya. Memang benar kata pepatah, "Appreciate what you have before it becomes what you had."
Selfie with fellas is very needed. x_x

[BOOK LAUNCHING] "ANTOLOGI RINDU"

$
0
0
Book's cover designed by: Arwin Eliezer
Siapakah manusia di dunia ini yang tidak pernah merasakan rindu? Saya yakin tiap manusia pernah merasakannya; bergumul karenanya. Bahkan bayi yang baru lahir pun sudah menyatakan rindu lewat tangisannya karena dahaga akan air susu ibu yang merupakan salah satu tanda cinta kasih dari sang ibu.

Rindu. Satu kata dengan jangkauan yang luas. Bisa rindu pada pasangan (yang jauh atau dekat sekalipun), rindu pada orangtua (yang masih hidup atau sudah tiada), rindu pada teman lama atau mantan kekasih atau siapa pun, rindu pada momen tertentu dalam hidup, dan masih banyak lagi.

Dan, pernahkah rindu itu seakan membuncah di dada karena begitu lama dipendam? Pernahkah rindu itu seakan menggerogoti pertahanan dan mendesak kita untuk segera menuntaskannya?

Berawal dari pemikiran di atas dan sebuah tweet dari Ika Fitriana yang bunyinya, "Coba, deh, nyatakan rindumu tanpa kata 'rindu'.." Maka lewat satu writing project bertajuk "Antologi Rindu Tanpa Kata 'Rindu'"terpilihlah 32 karya (plus 8 karya dari tim juri dan penggagas) di antara 684 naskah yang masuk.

Di dalam buku ini, Anda akan menemukan 13 cerpen, 13 flash fiction, dan 14 puisi bertema kerinduan yang dipaparkan tanpa menggunakan kata "rindu".

Penasaran dengan isinya? Silakan membalik tiap halaman dalam buku ini sambil turut merasakan kerinduan di dalamnya.

Saya harap, buku ini bisa menjadi teman setia pengisi waktu sekaligus memaktubkan dalam hati bahwa hanya yang sesungguhnya mencinta yang bisa merindu; termasuk Anda, pun saya.

*Silakan dapatkan buku ini secara online hanya di website nulisbuku dengan harga Rp. 50.000,-
**Happy shopping and happy reading, fellas! *smooch*
This is me with "Antologi Rindu" :D

Oops! Jaga Jarak!

$
0
0
Picture is taken from here
Di suatu sore saat aku sedang diajari menyetir oleh Papaku, aku begitu antusias sampai rasa-rasanya ingin menyalip semua kendaraan yang ada di depanku. Tak heran, umurku saat itu baru 17 tahun hingga keinginan untuk menunjukkan ke seluruh dunia bahwa aku bisa menyetir (bahkan balapan) begitu meluap. Aku ingin mereka yang melihatku terkagum, terperangah, dan kemudian memujiku dengan berucap: "WOW!" Itulah keinginan (yang tampaknya mengada-ada) untuk seorang remaja. Haha.

Papaku jelas saja dengan penuh ketenangan menasihatiku untuk menjaga jarak dengan kendaraan di depanku.

JAGA JARAK, kata kunci yang terus kuingat sampai sekarang. Aku setidaknya harus menjaga jarak sekitar 5 meter di belakang kendaraan yang ada di depanku supaya ketika kendaraan tersebut mengerem mendadak, aku bisa terhindar dari tabrakan dengannya. Nasihat yang awalnya kuabaikan namun kemudian terpatri dalam ingatanku karena aku hampir saja (dengan bodohnya) menabrak saat itu.
 
Well, "jaga jarak" kupikir tak hanya berlaku dalam perkara berkendara, tapi lebih dari itu prinsip tersebut bisa digunakan dalam menjalani hidup. Manusia perlu menjaga jarak agar terhindar dari kecelakaan yang tidak diinginkan. "Jaga jarak" berlaku dalam pertemanan; di mana manusia sebaiknya menjaga jarak dari orang-orang yang tak seharusnya (karena memang tak baik) untuk dijadikan teman. Bukan berarti sombong, tapi demi keselamatan sebaiknya menjaga jarak.

Dalam hidup, manusia akan dipertemukan dengan berbagai macam karakter manusia lain. Pintar-pintarlah dalam memilih siapa yang layak dijadikan teman untuk berjalan berdampingan dan siapa yang tidak layak dijadikan teman karena bisa membahayakan keselamatan. Dan itu semua jelas bergantung pada manusia itu sendiri.

Post ini kutulis untuk diriku sendiri sebagai reminder agar aku tak pernah lupa untuk selalu menjaga jarak dari siapa pun yang bisa menyebabkan "tabrakan fatal". :D

Semoga juga bermanfaat untuk yang membaca. Ciao! ^^

"Shake It Off!"

$
0
0
Picture is taken from here
Dengan kepala sedikit puyeng namun semangat (untuk menulis) yang meletup di dada aku mulai mengetikkan satu per satu kata di post ini. Sakit selama berhari-hari memang menyiksa! Tapi untunglah "masa suram" tersebut telah berlalu, dan aku merasa adalah suatu keharusan untuk mengisi blog yang sudah sebulan (lebih) dianggurin.

Lantas mau ngomongin apa?

Hmm...

Well, selama sakit aku jadi punya waktu untuk "bersantai". Waktu luang yang kuhabiskan dengan membaca "buku-buku ringan", berpikir untuk memotong rambut lebih pendek, dan mendengarkan lagu terbaru Taylor Swift yang berjudul "Shake It Off!" (*pura-pura lupa dengan ritual minum obat yang jumlahnya tak terhitung itu* :D)

Hmm, lupakan tentang "masa suram" tersebut, mari aku ceritakan sejenak tentang lagu Taylor Swift di atas. ^^

Ketika tahu (dari tweet di akun twitter-nya) kalau Taylor Swift baru saja merilis single terbarunya berjudul "Shake It Off!" aku begitu senang dan langsung saja mengunjungi Tante Youtube (yes, kalau Google disebut "Om", maka tak apalah jika Youtube kusebut "Tante" :D). Dan seperti yang selalu terjadi saat pertama kali aku mendengarkan lagu terbaru Taylor Swift, aku langsung jatuh cinta! (Consider that I'm a big fan of Taylor Swift since I was born :p) Bukan hanya pada suara yang menurutku unik, musik yang nge-beat dan asyik didengar, namun liriknya juga T-O-P-B-G-T!

Dalam lagu "Shake It Off!", Taylor Swift seperti ingin sedikit "menggoda" para haters-nya yang tak henti-henti mencela tentang lagu-lagunya yang dinilai diangkat dari kehidupan percintaannya yang semuanya kandas di tengah jalan. Tapi itulah yang kusuka dari Taylor Swift, ia membalas celaan dengan karya. "Hidup toh berkarya aja. Soal disukai atau kagak itu mah urusan belakangan. Kalo ada yang sampe membenci, itu nanti urusan mereka sama yang Di Atas." Mungkin ini kata Taylor Swift dalam hati. Hihii... :D

Pesan dalam lagu "Shake It Off!" begitu nyantol di hatiku. Whatever people say and think about you, just say "It's gonna be alright," just shake it off! Shake it off! Hohohohoo...


Dan inilah sedikit penggalan lirik lagu "Shake It Off" yang kini masuk dalam salah satu dari segelintir lagu berbobot di mata dan hatiku. :D


But I keep cruising
Can't stop, won't stop moving
It's like I got this music
In my mind
Saying, "It's gonna be alright."


'Cause the players gonna play, play, play, play, play
And the haters gonna hate, hate, hate, hate, hate
Baby, I'm just gonna shake, shake, shake, shake, shake
I shake it off, I shake it off
Heart-breakers gonna break, break, break, break, break
And the fakers gonna fake, fake, fake, fake, fake
Baby, I'm just gonna shake, shake, shake, shake, shake
I shake it off, I shake it off

I never miss a beat
I'm lightning on my feet
And that's what they don't see, mmm-mmm
that's what they don't see, mmm-mmm

I'm dancing on my own
I make the moves up as I go
And that's what they don't know, mmm-mmm
that's what they don't know, mmm-mmm

Untuk J...

$
0
0
Ketakutan mencekam seisi ruangan itu. Orang-orang yang kukenal semuanya tegang dan pucat. Tak terkecuali aku, layaknya si penakut bernyali kecil sekecil batu dalam genggaman tangan kananku yang mau tak mau, nekad tak nekad siap menghantam kepala orang itu dengan batu tersebut jika ia menyakitiku.

Langkahnya pelan nan menakutkan. Semua mata enggan menatap langsung padanya. Takut jika ia menghampiri. Dan ia pun mulai bergerilya; mencari sasaran yang tepat untuk didatangi.

Tepat tiga baris dari tempatku duduk, seorang teman perempuan didekatinya. Lantas ditamparnya wajah temanku tanpa rasa bersalah sembari memakinya dengan kata-kata kasar. Tak ada kata yang keluar dari mulut temanku apalagi perlawanan. Ketika ia menjambak rambutnya, kulihat air matanya jatuh. Ia menangis. Kami semua pun ikut menangis dalam hati. Sungguh tega ia berbuat demikian terhadap temanku. Tapi tak ada rasa bersalah dari sorot matanya, yang ada hanyalah kekosongan.

Puas dengan aksi pertamanya, ia melanjutkan memilih korban berikutnya. Satu lagi teman perempuanku yang duduk tepat di depanku didekatinya.
Plakkk!"Sudah kukatakan lelaki itu berengsek! Kenapa kamu rela menjual 'tuhanmu' untuk dia? Dasar wanita murahan!"Plakkk!
Dua kali tamparan mendarat di pipi temanku, tapi ia hanya diam. Aura ketakutan semakin mencekam. Siapa korban selanjutnya? batinku berteriak.

Kepalaku seketika tertunduk ketika ia selesai dengan aksi keduanya. Langkah kakinya pelan dan menuju ke arah tempatku duduk. Kurasakan keringat dingin membasahi dahiku. Dengan tangannya yang lembut ia mengangkat wajahku. Mataku kini tepat menatap matanya.

"Kenapa hidup ini sungguh tak adil? Di saat aku kelelahan bekerja dan mencari tempat sandaran, ia malah pergi? Tak tahukah betapa aku menyayanginya layaknya kakak perempuanku sendiri? Kenapa ia tega menjual 'tuhan kami' kepada lelaki itu?" Air mata mulai menetes di pipinya ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukannya.

Aku tak tahu harus menimpali pertanyaannya dengan jawaban apa. Rasa takut dan kasihan entah kenapa kini berbaur jadi satu. Kenapa kamu harus 'pergi' sejauh itu, Sobat? Aku tak bisa lagi menahan air mataku ketika kalimat tersebut kulontarkan dalam hati.

Anehnya, tak ada tamparan yang mendarat di pipiku. Ia malah memilih duduk di sampingku sambil terus menangis. Aku refleks memeluknya dari samping. "Kembalilah, Sobat!" Aku membisikkan kalimat ini ke telinganya. Ia menatapku. Tapi tatapan itu masih kosong.

Aku ingin sekali menariknya keluar dari "dunianya". Aku ingin ia kembali ke dunia yang sebenarnya. Aku ingin ia menjadi seperti dulu lagi, seorang sahabat yang perhatian yang kukasihi dan mengasihiku.
Ternyata kehilangan terbesar bukan hanya ketika sahabat meninggal atau terpisahkan jarak, tapi ketika beban hidup membuat ia kehilangan pikirannya dan lupa bahwa masih ada orang yang tulus mengasihinya.
Air mataku semakin bercucuran tatkala kurasakan tubuhnya bergetar hebat. Air mata itu pula yang telah membasahi bantal ketika aku membuka mataku. Siapa bilang mimpi hanyalah bunga tidur? Karena ternyata mimpi juga bisa menjadi pengirim pesan.

Segera kuraih ponselku dan mengetikkan nama seseorang. Tak ada jawaban kutemui di ujung sana. Sebelum kekhawatiran melanda segera kupanjatkan doa agar Tuhan senantiasa menjaga di mana pun ia berada saat ini.

"Jaga dia, Tuhan. Tolong jaga sahabatku selalu. Karena aku begitu mengasihinya." :')

*Untuk J, tempat aku berbagi suka, duka, dan juga "kegilaan" bersama. 

Quarter Life Crisis

$
0
0
Picture is taken from here
Hai perempuan yang katanya lagi berurusan pelik dengan "Quarter Life Crisis",

Sebelumnya aku minta maaf jika tadi subuh aku izin tidur duluan karena mata yang tak lagi bisa diajak kompromi. Semoga kamu mengerti kalau aku punya jadwal kuliah pagi yang tak bisa seenaknya kutinggalkan. Tapi tenang saja, sebagai sahabat yang baik, semua curahan hatimu telah kutampung dan karena kamu minta nasihatku, inilah yang bisa kusampaikan...

Usia menjelang seperempat abad, tepatnya 23 tahun (ah, kamu masih muda, Sayang...) tapi tengah merasakan kemandekan atau lebih tepatnya kekosongan dalam hidup.

Kamu merasa hidupmu flat. Kamu belum bisa menjadi seseorang yang dulu (sejak kecil) kamu impikan.

Belum ada cincin melingkar di jari manismu sementara kamu diam-diam iri ketika melihat teman-teman masa kecilmu sudah menggendong bahkan mengantar-jemput anak mereka ke sekolah. Dan lagi, pertambahan usia (yang tak terelakkan) seperti seakan terus memburumu, menghantuimu dengan pertanyaan, "WHEN?"

Kamu juga masih disibukkan dengan perkuliahan pasca sarjana yang kamu sendiri pun sebenarnya tak mengerti untuk apa melanjutkan kuliah (katamu, mungkin hanya demi menyenangkan hati orangtua yang ingin anaknya sekolah setinggi-tingginya).

Kamu sudah teramat bosan dengan rutinitas sehari-hari yang seakan menghalangi keinginanmu untuk traveling ke tempat-tempat eksotis yang sebenarnya sudah lama ada di daftar most-visited-places milikmu.

Keinginanmu untuk belajar renang, ikut aerobic atau yoga, rutin jogging tiap pagi, dengan satu tujuan untuk tubuh yang sehat dan badan yang proporsional sepertinya hanya ada dalam angan karena pola tidur dan pola makan yang tidak teratur, bahkan lutut yang sering gemetar karena-entah-apa di siang hari.

Dalam pergaulan, teman-teman dekatmu usianya 5-8 tahun lebih muda darimu sehingga banyak yang mengira bahwa kamu juga masih seorang "anak kecil seperti mereka" meski sebenarnya tingkahmu tidaklah terlalu kekanakan.

Kamu pun masih, katakanlah, bergantung pada orangtuamu. Buktinya, kamu tak bisa tinggal jauh dari mereka walau keinginanmu untuk bisa punya rumah sendiri dan hidup mandiri sangat kuat. Mungkin kamu yang terlalu penyayang (atau orangtuamu yang terlalu memanjakanmu?)

Baiklah, itu tentang kamu, sejauh aku mengenalmu.

Sebagai sahabat, izinkanlah aku merecokimu dengan nasihat (sok bijak) dari hati.


Siapa sih yang sudah melampaui usia seperempat abad yang tidak pernah mengalami "Quarter Life Crisis"?

Kupikir hal itu hanyalah suatu tembok dari sekian banyak tembok dalam hidup yang harus diruntuhkan. Runtuhkan "tembok itu" dan lanjutkan hidup! Semudah itu.

Mungkin kamu akan bilang, "Ya, ngomong emang gampang... tapi realisasinya aku kudu piye?"

Tengoklah kedalaman hatimu dan tanyakan apa yang paling kamu inginkan dalam hidupmu. Jika kamu belum juga mendapatkannya, bagaimana caramu bisa sampai ke sana? Karena yang paling mengerti dirimu adalah dirimu sendiri. Bukan orang lain, tidak juga orangtuamu.

Bersyukurlah dengan apa pun yang kamu miliki sampai saat ini sambil terus berusaha untuk meraih impianmu. Oops, satu lagi! Tak perlu iri dengan orang lain yang kelihatan bahagia di sekitarmu. Ingat, tiap orang memikul beban hidupnya sendiri.

Mind your own problems! Seperti kata almarhum Gusdur, "Gitu aja kok repot?"

Jika kamu ingin marah padaku karena nasihat (sok bijak) ini, silakan benturkan kepalaku. Caranya mudah kok. Cukup berhadapan dengan cermin, pasti akan kamu temui aku di situ. Hehehe.

Dariku yang (juga sedang) berusaha mengalahkan "Quarter Life Crisis"
Viewing all 178 articles
Browse latest View live